Reinha da Japara
July 23, 2019Perang Teritorial
October 29, 2019Pasukan Siliwangi, Patriotisme Melampaui Tapal Batas
Ada sebuah catatan kecil sewaktu perjalanan hijrah di atas kapal MS. Plancius. Perwira-perwira Siliwangi yaitu Letkol Daan Yahya, Kapten Daeng Kosasih, Kapten Akhmad Wiranatakusumah dan Kapten Daeng Muhammad, atas prakarsa Kapten Cecep Aryana dan Letnan Sjunar Pringadi munculah lagu “Siliwangi Hijrah”:
Oh beginilah
Nasibnya soldadu
Diosol-osol di adu-adu
Tapi biar tidak apa
Asal untuk Negeri kita
Naik dan turun gunung
Hijrah pun tak bingungPaduli teuing
Urang keur ngabagong
Nu narenjokeun ulah rea omong
Kieu soteh miceun tineung
Lamun prung mah moal keueung
Pasukan Siliwangi
Sa eutik geu mahi
Sedianya, mereka telah mempersiapkan diri untuk mempertahankan kampung halaman yang merdeka dengan dikumandangkannya Proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan, kalaupun harus gugur berkalang tanah, prajurit-prajurit Siliwangi siap.
Tetapi, mereka harus hijrah, karena tanah Pasundan melalui Persetujuan Renville atas seruan Dewan Keamanan PBB dan bantuan Komisi Jasa-jasa Baik Tiga Negara (KTN), menghasilkan keputusan bahwa anak-anak Siliwangi yang berjumlah kurang lebih 40.000 prajurit harus angkat kaki dari kampung halamannya sendiri. Dan, daerah-daerah yang kosong setelah ditinggalkan itu menjadi milik kekuasaan Belanda.
Dengan taat kepada pimpinan, Pasukan Siliwangi pun berangkat membawa patriotismenya melewati tapal batas. Mereka membuktikan makna sejati dari patriotisme tanpa reserve, yang berarti sikap berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Walaupun, tanah merdeka ternyata menjadi bukan termasuk kampung halamannya, mereka tidak berontak kepada pimpinan.
Pasukan Siliwangi berangkat ke Yogyakarta. Dan, tak lama sejak tibanya di ibukota baru Republik itu, mereka segera diberangkat untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun yang pada 18 September 1948 memproklamirkan diri sebagai “Sovyet Republik Indonesia”.
Oleh Gubernur Militer Gatot Subroto, Siliwangi diberi batas waktu selama 14 hari untuk merebut kembali kota Madiun, dan tidak sampai 14 hari tugas itu sudah berhasil diselesaikan dan mengumumkannya melalui Radio Madiun. Selanjutnya, Pasukan Siliwangi juga bergerak bersama satuan-satuan lain seperti dari MBB Jawa Timur, RKB Banyumas dan MBB Jawatan Kepolisian dalam melakukan penumpasan dan pengejaraan selama dua bulan.
Usai memadamkan PKI-Muso, Siliwangi ternyata tidak bisa kembali sebab datang Agresi Militer Belanda ke Yogyakarta. Dalam pengaturan taktis strategis Jenderal Sudirman langsung memerintahkan antara lain agar pasukan-pasukan yang dulu terpaksa hijrah akibat Persetujuan Renville supaya bergerak kembali ke kedudukan-kedudukan semula dengan jalan menyusup melalui kampung-kampung tanpa menggunakan kendaraan.
Siliwangi pun melakukan Longmarch kembali ke kampung halamannya. Di jalan, mereka menyusuri penghadangan demi penghadangan yang dilakukan oleh Belanda maupun Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo. Tentang Darul Islam (DI), pasukan Siliwangi yang telah lama pergi sama sekali tidak mengetahui perubahan situasi di Jawa Barat.
Akhirnya, untuk pertama kali dan berlangsung secara besar-besaran pertempuran pecah di perkebunan Antralina, daerah Kabupaten Garut, 25 Januari 1949. Akibat dari pertempuran ini pihak DI pun mengeluarkan “Maklumat DI No.1” yakni menganggap Siliwangi yang baru pulang dari hijrah sebagai “tentara liar” yang perlu ditindak.
Dan, karena terus terdesak, DI kemudian mulai melancarkan teror dengan komando: “Perintah Perang Semesta” atau “Perintah Tanpa Kembali”; yang menyasar korban seperti terjadi di desa Trowek, Ciawi, Sukamaju, Garut, Cinanggela, Slawi, Cambarea, Sukawening dan lainnya. Maka sambil memeram gelisah karena harus menghadapi saudara kampung sendiri, prajurit-prajurit Siliwangi pun tetap membuktikan kembali patriotisme dan keunggulan yang tumbuh dari jiwa kemerdekaannya. Mereka bergerak dengan taktik “ISOLASI TOTAL” dan “PAGAR BETIS” dalam Operasi Brata Yudha sampai berhasil menangkap Kartosuwiryo.
Selanjutnya, prajurit-prajurit Siliwangi tak juga sepi dari tugas operasi baik di dalam maupun hingga jauh ke luar kampung halamannya. Mereka berangkat lagi, lagi, dan lagi, sebagai patriot-patriot yang tidak pernah surut nyali. Sungguh, tak terbayangkan luka perih yang bakal mereka rasakan apabila kemerdekaan di republik ini sampai dikorupsi atau bahkan patah.