PRRI/PERMESTA (Bukan) Pembangkang
December 24, 2019Het Toekoe Oemar Spel
December 24, 2019Ir. Djuanda
Pada tahun 1938, Pagoejoeban Pasoendan mengadakan rapat umum di Bandung. Djuanda menjadi pembicara utamanya. Ia berpidato tentang industrialisasi.
Topik ini dipilihnya karena tersiar kabar bahwa orang-orang Belanda merencanakan mendirikan pabrik-pabrik baru. Sedapat mungkin pabrik-pabrik itu tidak berdiri di negerinya sendiri, tetapi di tanah jajahannya.
Digambarkannya bahwa Indonesia cukup menarik untuk didirikan usaha industry. Dengan “open deur politiek” Belanda, yang tentunya akan dibangun menurut kepemilikan orang Belanda atau asing tentu bakal memperkukuh penjajahan di Nusantara. Dan, untuk itu Djuanda menyarankan salah satunya agar memelihara industry kecil yang telah ada di tangan rakyat serta mengutamakan pemenuhan kebutuhan keluarga melalui hasil bikinan rakyat sendiri.
Di tahun berikutnya, dalam ruang kesempatan yang sama, Djuanda memberi pandangan bahwa ulah bangsa Jerman dibawah Adolf Hitler dapat menjurus pada pecahnya Perang Dunia yang selanjutnya bisa meluas menjadi terbukanya perang di Pasifik. Pandangan ini disambut oleh anggota lainnya dengan mengingatkan adanya perhitungan Bung Karno di awal ’30-an, bahwa kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk merdeka datang bila pecah perang Pasifik. “Itulah yang saya ingin katakana”, kata Djuanda.
Sehubungan dengan pandangan Djuanda, pengurus besar Pagoejoeban Pasoendan memutuskan untuk turut mengupayakan membekali pemuda dan pemudi dengan tiga hal, yaitu mempertebal cinta tanah air, keberanian, dan rasa percaya diri.
Djuanda adalah seorang teknokrat, bukan ideolog, namun memiliki wawasan yang luas sebagai negarawan. Djuanda tampil sebagai tokoh yang sepertinya ditakdirkan untuk berada di tengah-tengah suasana peralihan yang menggetarkan di Indonesia. Ia yang paling berpengalaman sebagai Menteri sejak tahun 1946, dan seperti pula Hatta di masa revolusi kemerdekaan, merintis tradisi perencanaan pembangunan dan memberanikan diri untuk menyelesaikan sekian macam konflik dalam upaya merintis masa depan yang baru. Djuanda selalu masuk sebagai menteri di dalam kabinet-kabinet yang silih berganti. Akan tetapi untuk upaya-upayanya itu, seperti diutarakan oleh Leimena yang seakan merasakan penderitaan batin Djuanda, “Pak Djuanda serius mengupayakan stabilisasi serta rehabilitasi, tetapi oleh rekan-rekan Menteri lain diserang secara terbuka dalam rapat-rapat umum”.
Setelah Dekrit Presiden “kembali ke UUD 45” diumumkan, Djuanda dilantik sebagai Menteri Pertama RI. Maka, berdasar sistem presidensiil UUD 45, Bung Karno “mendelegasikan” tugas dan wewenangnya kepada Menteri Pertama, sehingga Djuanda pun berfungsi sebagai “Perdana Menteri”. Di luar negeri, Menteri Pertama mendapat perlakuan sebagai Perdana Menteri.
Semasa demokrasi parlementer, bila Presiden ke luar negeri, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat akan menjadabat sebagai Pejabat Presiden. Tetapi, dalam sistem presidensiil, Menteri Pertama yang menjadi Pejabat Presiden. Dan, Djuanda tercatat enam kali mengemban tugas sebagai Pejabat Presiden, bahkan ketika berpulang kepada Penciptanya iapun sedang duduk dalam jabatan tersebut. Ia menjadi Menteri Pertama yang pertama dan terakhir dalam sejarah RI. Sesudahnya, Presiden Sukarno meniadakan jabatan Menteri Pertama dan mengangkat tiga orang Wakil Perdana Menteri.
Sejarahwan Taufik Abdullah mengingat tentang Djuanda, bahwa seorang rekannya yang juga seorang ilmuwan di Amerika berkata, “Nanti orang akan menyadari betapa krusialnya peranan Djuanda di tahun-tahun yang kritis itu. Dan betapa besar kerugian Indonesia dengan kematian Djuanda yang mendadak itu”. Akan tetapi, menurut Taufik Abdullah bahwa orang akan menyadari arti Djuanda sebagaimana yang dikatakan kawannya itu meleset, sebab setelah sekian puluh tahun berlalu siapa yang mengingat Djuanda?
Syahdan, di tahun 1999, Presiden Abdurahman Wahid pernah mencangangkan hari lahirnya “Deklarasi Djuanda” yang memperluas wilayah Republik Indonesia + 2000 km sebagai Hari Nusantara Nasional. Sedangkan sebagai nama, Djuanda tetap menjadi seorang aktivis, teknokrat, dan negarawan yang masih kurang begitu dikenal apalagi didalami seputar kiprah dan posisi yang diembannya.
Dalam melihat sejarah, kebanyakan kita lebih menyukai dan mudah terpukau pada pendekatan “hero worship”. Dan ini memang pendekatan yang sah-sah saja selama tidak terjadi pemalsuan di dalamnya. Akan tetapi, pendekatan tersebut bisa menyebabkan kita alpa pada kekuatan dan tokoh lain yang memungkinkan segala hal yang diagungkan dan menggetarkan dalam sejarah bisa berfungsi dengan baik.