Perang Teritorial
October 29, 2019PRRI/PERMESTA (Bukan) Pembangkang
December 24, 2019Tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan untuk menguatkan dominasi kedudukannya di Sumatera, Jawa dan Madura. Dalam penyerbuannya Belanda menggerakkan Divisi “7 Desember” dari Jakarta memasuki Jawa Barat. Divisi “B” dari Bandung menuju Cirebon, Semarang, Tegal, Purwokerto dan Cilacap.
Dari Semarang Brigade “T” Divisi “B” langsung menembus pertahanan-pertahanan TNI di beberapa kota di Jawa Tengah. Dari Surabaya, Divisi “A” melancarkan serangan ke seluruh Jawa Timur. Sedangkan untuk Sumatera, Belanda menggerakkan Brigade “Z” di Sumatera Timur, Brigade “U” di Sumatera Barat dan Brigade “Y” di Sumatera Selatan.
Dalam waktu singkat pertahanan yang dibangun oleh tentara Republik secara linier dapat diterobos. Hampir semua kota besar di Jawa dan sebagian Sumatera jatuh di bawah pendudukan Belanda.
Selain melangsungkan operasi bersenjata, militer Belanda juga mendapat instruksi khusus dari Jenderal Spoor untuk meneruskan langkah-langkah simpatik kepada warga setempat sebagaimana yang sudah diumumkan setahun sebelumnya.
“… Bertindaklah di desa dan rumah rakyat sebagai pembawa keadilan dan keamanan. Bersikaplah demikian sehingga tidak ada rasa takut dan kerugian dari rakyat. Sikap sopan anda akan lebih ampuh daripada sebutir peluru. Hormatilah rumah dan milik penduduk. Jangan merusak yang tidak perlu. Jangan membeli sesuatu secara paksa.”
Akan tetapi Spoor menghadapi kenyataan yang lain. Gerilya menghantam demikian keras dan mencekam. Sukar dipercaya. Bahwa kekuatan yang hanya disebutnya sebagai extrimis mampu melakukan perlawanan yang terus menerus seperti tumbuhnya cendawan di musim hujan.
Penyergapan terhadap patroli Belanda tak jarang terjadi secara brutal. Sedangkan ekses yang ditimbulkan oleh aktifitas gerilya itu, oleh prajurit-prajuritnya sangat sulit diidentifikasi apakah bersumber dari tentara Republik atau rakyat. Akibatnya, tentara Belanda juga melakukan aksi pembalasan melalui pembersihan-pembersihan ke desa.
Di meja kerja Jenderal Spoor setiap pekan datang tumpukan berkas-berkas tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Ia memprosesnya, namun dengan pertimbangan bakal menjadi propaganda yang hanya akan menguntungkan Republik, semua kasus itu dibukanya secara tertutup.
Sebagai seorang Jenderal, Spoor ingin menghentikan semua itu. Dengan optimis ia menyiapkan kembali pukulan untuk menghentikan denyut nadi gerilya melalui serangan langsung ke jantung Republik, yaitu Yogyakarta. Akan tetapi, lagi-lagi ia tidak mempercayai apa yang disaksikannya. Matanya melihat sendiri bahwa TNI sudah berhasil dikalahkan. Dua kali sudah operasi militernya berhasil. Namun, kenapa keduanya juga selalu diikuti oleh aksi bumi hangus terhadap kota-kota yang ditinggalkan oleh rakyatnya dan malah menggabungkan diri ke dalam kelompok-kelompok gerilya.
Kekuatan gerilya makin hari pun makin bertambah. Secara politik tentu ini sangat merugikan Belanda. Ternyata, ketidakamanan yang hendak diatasinya justru ditimbulkan oleh rakyat sendiri karena mereka menolak kedatangan Belanda. Keunggulan tempur yang ditunjukkan oleh militer Belanda juga tidak serta-merta diikuti oleh tunduknya rakyat secara umum.
Soal keamanan dan ketertiban yang dipropagandakan untuk diwujudkan, bagi telinga rakyat juga tidak lebih hanya terdengar sebagai “tipu-tipu gaya Holland”. Rakyat tetap dan makin menjauh dari sisi Belanda.
Secara politik, sesungguhnya Belanda sudah kalah sejak awal, tapi Spoor terlalu optimis. Soal bertempur memang adalah soal militer. Tetapi soal perang adalah soal memenangkan hati rakyat.
Maka, kalaupun Belanda tetap berkeras hendak menguasai kembali Indonesia, kekuasaan yang kelak dipegangnya pun hanya akan menjadi pemerintahan tanpa rakyat. Dan, bagaimana mungkin, negara zonder rakyat.
Atau, apakah mungkin, rakyat Indonesia dibersihkan saja lalu diganti dengan mendatangkan rakyat dari tempat lain?