Kegamangan Serdadu Belanda
February 28, 2020Sri Sultan dan Kepemimpinan (I)
February 28, 2020Menyusun Serangan Umum, Serangan Spektakuler (I)
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang selalu memantau dan mengikuti perjuangan diplomasi RI di PBB melalui radio, mengetahui jika delegasi Belanda menolak Resolusi DK PBB yang mendesak agar pihak Belanda membebaskan para pemimpin Indonesia dan penyelesaian kembali melalui perundingan.
Salah satu alasan penolakan delegasi Belanda adalah bahwa Republik Indonesia dan TNI sudah tidak ada lagi. Dalam pandangan Sri Sultan, tampaknya dunia internasional mulai terpengaruh propaganda dan agitasi Belanda, sehingga DK PBB merencanakan untuk melanjutkan pembahasan mengenai masalah Indonesia – Belanda pada bulan Maret 1949.
Mengatahui hal ini, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian menyampaikan kepada Panglima Besar Soedirman mengenai dinamika perjuangan diplomasi Republik di forum internasional itu.
Senada dengan Sri Sultan, dengan menggunakan “Radio Rimbu”, Panglima Soedirman juga selalu dapat mendengar berita-berita dari dunia internasional, termasuk berita penolakan Belanda terhadap Resolusi DK PBB itu.
Dalam informasi yang diperolehnya, disimpulkan bahwa, Amerika Serikat dan beberapa anggota DK PBB yang lain masih ragu-ragu memberikan dukungan kepada Indonesia karena kurang mengetahui mengenai eksistensi Republik Indonesia.
Panglima Besar Soedirman kemudian memanggil rapat para pimpinan TNI yang berada di daerah Pacitan. Dan, keputusan yang diambil adalah mengadakan serangan besar-besaran sebelum bulan Maret yang tak dapat ditutup-tutupi oleh Belanda.
Dan untuk tugas tersebut, Panglima Besar menugaskan kepada Panglima Divisi III untuk mulai merumuskan dan melaksanakan apa yang menjadi keputusan rapat itu.
Letkol. dr. Wiliater Hutagalung yang ikut hadir dalam dalam rapat tersebut diberi tugas khusus oleh Panglima Besar untuk menyampaikan hasil keputusan rapat tersebut kepada Panglima Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng, yang berada di lereng Gunung Sumbing.
Juga, sekaligus membantu Panglima Divisi III untuk menyusun langkah-langkah yang harus diambil dalam upayanya menghalau propaganda Belanda tersebut.
Setelah Panglima Divisi III menerima tugas dari Panglima Besar seperti yang di sampaikan Letkol. Wiliater Hutagalung, maka pada 18 Februari 1949 diadakan rapat di lereng Gunung Sumbing yang dihadiri oleh para pemimpin militer dan sipil di wilayah Divisi III.
Rapat itu diadakan antara lain untuk membahas rencana juga konsep yang akan dilakukan untuk melaksanakan perintah dari Panglima Besar tersebut.
Adapun konsep yang diajukan oleh Letkol. Wiliater dalam rapat tersebut adalah :
“Meyakinkan dunia internasional – terutama Amerika Serikat dan Inggris – bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat; adanya PDRI di Bukittinggi dan keberadaan TNI yang masih kuat. Dan untuk membuktikan hal ini, harus diadakan suatu ‘serangan spektakuler’ yang dapat diketahui oleh wartawan-wartawan asing dan akan disebarluaskan ke seluruh dunia.”
Berkaitan dengan rencana ‘Serangan Spektakuler’ tersebut, selain dengan diadakannya serangan umum yang dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng sebagai Panglima Divisi III, juga menginginkan serangan khusus yang spektakuler terhadap ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Mengenai keinginannya tersebut, Kolonel Bambang Sugeng menyatakan bahwa :
“Kita harus menunjukan kepada dunia internasional bahwa TNI setiap waktu dapat menduduki sasaran apapun termasuk Ibukota RI yang dijaga oleh pasukan Belanda yang sangat kuat, walaupun hanya beberapa jam”.
Mengingat pelaksanaan sidang DK PBB yang semakin dekat, maka persiapan untuk pelaksanaan Serangan Umum pun semakin sempit. Hanya sekitar 7-10 hari sebelum DK PBB bersidang kembali pada bulan Maret 1949.
Strategi dan perencanaan mulai disusun. Sebagai pelaksana serangan terhadap kota Yogyakarta diputuskan akan dipimpin oleh Letkol Soeharto sebagai Komandan Brigade X/Divisi III yang juga sebagai Komandan Wehrkreise III, di mana kota Yogyakarta menjadi tanggung jawab kesatuan ini.
Pelaksanaan Serangan Umum juga tidak berdiri sendiri.
Pasukan Republik dari Brigade IX diperintahkan untuk menghambat bantuan militer Belanda dari arah Magelang. Sedangkan bantuan militer Belanda yang diperkirakan datang dari Solo akan dihadang oleh pasukan TNI dari Divisi II.
Rencana Serangan Umum di wilayah Divisi III ini akan dilaksanakan antara tanggal 25 Februari – 1 Maret 1949. Rencana ini kemudian dilaporkan kepada Panglima Besar Soedirman oleh Komandan Wehrkreise II, Letkol. Sarbini.
Dalam pertemuan itu Panglima Besar juga memerintahkan seorang perwiranya untuk menyampaikan rencana tersebut kepada Komandan Wehrkreise I di Solo.
Persiapan terus dilakukan. Panglima Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng mulai melakukan perjalanan estafet dengan didampingi oleh Letkol Wiliater Hutagalung untuk memastikan persiapan Serangan Spektakuler tersebut.
Yang pertama dihubungi adalah Kolonel Wiyono, Kepala Bagian Politik Kementerian Pertahanan (PEPOLIT) untuk mencari lima orang pemuda Tentara Pelajar (TP) yang berbadan tinggi dan tegap yang bisa berbahasa Inggris, Belanda dan Perancis yang nantinya akan diberi seragam dan pangkat TNI.
Tugas yang akan diberikan kepada lima pemuda tersebut adalah untuk memberikan keterangan pers kepada wartawan-wartawan asing yang berada di Hotel Merdeka pada saat serangan dimulai.
Agar pelaksanaannya nanti berjalan sesuai yang diharapkan, maka Kolonel Wiyono diminta untuk mengkoordinasikan hal ini dengan komandan pelaksana operasi serangan, Letkol Soeharto.
Selanjutnya Panglima Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng dan rombongan bergerak menuju Banaran untuk menemui Wakil KSAP, Kolonel TB Simatupang. Dalam pertemuan itu, hadir juga Mr. Ali Boediardjo.
Kolonel Bambang Sugeng kemudian menyampaikan hasil rapat yang telah diselenggarakan di lereng Gunung Sumbing. Juga meminta kesediaan Kolonel Simatupang dalam kapasitasnya sebagai Wakil KSAP untuk membuat konsep tulisan yang berisi tentang Serangan Umum dalam dua versi Bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk disiarkan ke dunia internasional.
Juga diminta untuk menyampaikan konsep tersebut ke pemancar radio milik Angkatan Udara Republik yang berada di Playen dan pemancar radio di Wiladek setelah Serangan Umum dilaksanakan.
Seperti biasanya, berita-berita dari markas gerilya disiarkan melalui kedua pemancar tersebut dan akan diteruskan secara estafet sampai ke Kutaraja (Banda Aceh) dan kemudian siaran dari Kutaraja akan dapat ditangkap di Singapura, bahkan sampai ke New Delhi, India.