Menyusun Serangan Umum, Serangan Spektakuler (I)
February 28, 2020“Barisan Maling” dan Kompi Matosin
March 3, 2020Sri Sultan dan Kepemimpinan (I)
Sebelum Agresi Militer Belanda II, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan para penasihatnya telah merumuskan rencana-rencana yang berkaitan dengan keberlangsungan pemerintahan sipil sebagai dampak dari serangan militer Belanda terhadap Ibukota Republik yang besar kemungkinan terjadi.
Sri Sultan menyusun sebuah “pemerintahan bayangan” yang dirancang untuk dijalankan di luar kota Yogyakarta. Sri Sultan juga menginstruksikan kepada para pegawai pamong praja supaya membantu TNI.
Ketika datang Agresi, Sri Sultan dan Sri Pakualam akan tetap tinggal di dalam kota, sedangkan para pegawai pemerintahan harus tetap berada di daerah mereka dan menghindari penangkapan oleh pasukan Belanda.
Mereka juga harus menunggu perintah yang dikirim melalui kurir secara berkala yang lazimnya disertai dengan sandi atau kode-kode tertentu dalam membawa instruksi secara lisan dan informasi dari dalam kota.
Tak jarang, para kurir juga diminta untuk menghilangkan dengan cara menelan perintah yang tertulis apabila berpapasan dengan patroli tentara Belanda.
Perintah ini juga sekaligus persiapan untuk mengadakan perlawanan gerilya yang akan dilakukan oleh pamong praja di bawah pimpinan Sri Sultan.
Pasca Yogyakarta diduduki Belanda, pada tanggal 21 Januari 1949, Sri Sultan dan Pakualam mengundurkan diri sebagai Kepala dan Wakil Kepala Daerah Yogyakarta. Atas pengunduran diri ini berhembus isu bahwa mereka telah menjalin kerja sama dengan pihak Belanda.
Tuduhan tersebut segera disangkal oleh Sri Sultan. Dalam sebuah surat yang ditulis oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ia mengatakan bahwa :
“Laporan di pers bahwa saya bekerja sama dengan Belanda adalah bohong. Saya mengundurkan diri sebagai kepala Daerah Istimewa Yogyakarta… saya melakukannya karena saya tidak bisa menyetujui tindakan Belanda terhadap Republik kita. Saya tidak mungkin bisa bekerja…”
Surat Sultan Hamengkubuwono IX beredar secara sembunyi-sembunyi di Jawa dan menjadi perbincangan di Jakarta pada awal bulan Februari 1949. Surat ini beredar bersamaan dengan dokumen penting lainnya, termasuk teks pidato Soekarno dan Hatta yang tidak sempat disiarkan pada tanggal 19 Desember karena stasiun radio (RRI) telah dikuasai oleh pasukan Belanda ketika agresi terjadi.
Dengan beredarnya surat tersebut, menjadi penanda sekaligus memupuskan harapan Belanda agar Sri Sultan berpihak kepada mereka. Pupus harapan Belanda untuk menjadikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai “boneka”, baik dalam kepentingan meraih simpati dan dukungan dari dalam negeri Belanda sendiri maupun dari dunia internasional.
Sementara itu, sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintahan bayangan, pada akhir Januari dan awal Februari 1949, Sri Sultan mengeluarkan instruksi-instruksi kepada para pegawai pemerintahan yang berada di luar.
Antara lain tentang: kepercayaannya bahwa pada tahap tertentu Belanda pasti akan meninggalkan Yogyakarta, agar rakyat harus tetap bersabar dan bersatu, waspadai dan hindari setiap tempat atau daerah yang dipimpin oleh pemimpin yang ditunjuk oleh Belanda (pro Belanda), dan instruksi untuk tetap menggunakan mata uang Republik (ORI, atau Oeang Republik Indonesia) sebagai alat pembayaran dan menolak untuk menggunakan mata uang federal.
Pasca agresi oleh militer Belanda, untuk mendukung instruksi yang sebelumnya telah matang direncanakan dan menjaga ketersediaan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), Sri Sultan menyuplai bahan baku kertas untuk pencetakan 80.000 uang kertas Republik di Desa Panggang, di luar kota Yogyakarta.
Sri Sultan juga menginstruksikan bahwa jangan ada pencegahan terhadap distribusi pangan yang akan diperjualbelikan di Kota Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menghindari bahaya kelaparan karena kelangkaan bahan pangan bagi rakyat yang berada di dalam kota Yogyakarta.
Diketahui, pada awal-awal militer Belanda menduduki Yogyakarta, bahan pangan memang sangat sulit diperoleh. Kalaupun tersedia umumnya harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. Beras misalnya, awalnya di sekitar harga Rp. 40.- sampai Rp. 50.- per liter, kemudian naik menjadi Rp. 400.- sampai Rp. 500.-, per liter.
Bahkan setelah dua minggu tentara Belanda menduduki Yogyakarta, harga beras mendekati Rp. 1000.- per liter. Sedangkan untuk jenis-jenis tertentu seperti telur, sayuran dan obat-obatan harus dirahasiakan pengirimannya, karena barang-barang tersebut juga dibutuhkan oleh tentara Belanda yang menduduki Yogyakarta.
Pemerintah di pedesaan sebisa mungkin untuk mandiri dan tidak tergantung kepada pemerintah daerah. Sri Sultan Hamengkubuwono IX secara diam-diam telah pula memberikan bantuan keuangan sebesar sembilan juta rupiah kepada pemimpin perjuangan yaitu kepada Letkol Latief dan Letkol Soeharto untuk menyokong perjuangan.
Uang itu diberikan melalui Pakualam sebagai perantara hubungan dengan TNI. Pakualam sendiri, melalui Pangeran Suryaningprang, di mana tempatnya juga dijadikan markas kota untuk para gerilyawan, menjadi tempat kontak reguler antara pemerintah dengan TNI.
Pemerintah bayangan ini bisa berjalan dengan baik. Tetapi dari semua daerah, yang terlihat berjalan efektif dan terjalin kerja sama baik adalah Kabupaten Sleman. Bupati Sleman, yang diangkat oleh Wakil Kepala Daerah Khusus Daerah Istimewa, bertugas mengelola pemerintahan bayangan di daerah yang bebas dari kekuasaan Belanda di luar kota Yogyakarta.
Bupati Sleman, Projodiningrat, berhasil menjalin kerja sama dengan para pemimpin militer setempat, seperti Kolonel Djatikusumo dan Letkol Soeharto.
Di masa itu, kepala administrasi ekonomi Belanda, B.J. Mulder, mengakui bahwa dari 10.000 pegawai negeri yang berada di Yogyakarta, hanya sekitar 150 orang pegawai yang mau bekerja sama dengan Belanda.
Dan, itupun dilakukan atas perintah dari Sri Sultan dengan tujuan agar pelayanan umum kepada rakyat tetap berjalan. Instruksi-instruksi tersebut adalah sebagai wujud perlawanan dan perjuangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap tekanan Belanda yang telah menduduki Yogyakarta.
Kelak, setelah pertemuan Hatta dengan van Roijen di Jakarta, dalam persiapan pembebasan para pemimpin Republik dari Bangka ke Yogyakarta, serta persiapan penarikan mundur militer Belanda dari wilayah Republik, diputuskan bahwa yang akan bertanggung jawab adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Selain sebagai seorang raja, Sri Sultan juga merupakan tokoh sentral sekaligus panutan bagi rakyat di Yogyakarta.
Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan surat penetapan yang isinya memberikan kuasa sepenuhnya (plein pouvoir) kepada Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pemegang mandat untuk menerima kembali kekuasaan sepenuhnya, baik sipil maupun militer, atas Daerah Istimewa Yogyakarta dari Belanda dan mengatur pengembalian Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta.
Berkenaan dengan akan diadakannya prosesi serah terima tersebut, sempat muncul “perselisihan” (baca: perbedaan penafsiran) antara Sri Sultan dengan Letkol Suharto. Dalam konteks ini, Sri Sultan meminta kepada komandan WK III untuk mempersiapkan pasukanya yang akan memasuki Yogykarta.
Namun, permintaan Sri Sultan itu sempat mendapat penolakan dari komandan WK III, agar TNI terlibat serta dalam proses serah terima secara formal kota Yogyakarta dari Belanda. Melalui pertimbangan-pertimbangan yang prinsipil Letkol Suharto menolak perintah Sri Sultan. Karena TNI tidak pernah sekalipun mengakui kekuasaan Belanda di Yogyakarta, jadi menurut TNI buat apa diadakan serah terima.
Dalam sebuah pernyataannya, Soeharto mengatakan bahwa :
“saya tidak merasa bahwa Belanda berkuasa di Yogya, sebab itu saya berpendirian, kalua Belanda akan meninggalkan Yogya, ya…, tinggalkan sajalah. Saya tidak mau diadakan serah terima secara resmi dari Belanda kepada Indonesia. Saya tidak memandang Belanda berkuasa di sini…”
Sikap ini muncul setelah adanya pertemuan para petinggi TNI pada bulan Juni 1949 di Jiwosari, bahwa TNI akan menggencarkan perjuangan tanpa mempedulikan hasil dan dampak perundingan. Sebab yang sudah-sudah Belanda selalu menghianati kesepakatan yang telah dirundingkan.