Natsir, Orde Baru dan Petisi 50
April 2, 2020Propaganda Republik di Daerah Republik
April 7, 2020Sukarno Yang Ingkar : Aceh dan Daud Beurueh
Ketika Proklamasi Kemerdekaan baru beberapa hari dikumandangkan, empat ulama besar Aceh menyerukan jihad kepada rakyat Aceh untuk melawan Belanda. Pernyataan jihad terhadap Belanda ini ditandatangani oleh empat ulama besar Aceh yaitu Teungku Daud Beureuh, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Haji Jakfar Siddiq Lamjabat, dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri.
Daud Beureuh, seorang ulama yang sangat kharismatik, dengan mantap menyatakan Perang Mempertahankan Kemerdekaan adalah perjuangan jihad bagi rakyat Aceh. Setiap pejuang Aceh yang gugur dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI, sebagai mati syahid.
Seruan itu dilaksanakan pada tanggal 15 Oktober 1945 di Kutaraja (Banda Aceh), Aceh. Hasilnya, ketika hampir semua wilayah Indonesia dikuasai Belanda, hanya Aceh yang mampu bertahan berkat militansi dan keuletan pejuang-pejuang Aceh. Pertengahan Juni 1947, Presiden Republik Indonesia, Sukarno, mengangkat Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer Aceh dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler.
Pada tanggal 15 Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Aceh untuk mencari dukungan pasca Agresi Militer Belanda II. Bung Karno, selaku Presiden RI, meminta agar rakyat Aceh turut Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Kontribusi Aceh terhadap eksistensi negara Republik Indonesia tak bisa dianggap remeh. Dari yang terbesar hingga yang tak begitu tampak, semuanya memiliki dampak yang luar biasa terhadap perjuangan. Namun demikian, Aceh yang terwaikili Daud Bereuh tak menuntut banyak, hanya meminta kebebasan menjalankan syariat Islam, khusus untuk wilayah mereka.
Dalam perjumpaan dengan Presiden pada Juni 1948 itu, Bung Karno mengabulkan permintaan rakyat Aceh. Daud Bereuh kemudian mengajukan permintaan kepada Bung Karno agar Bung Karno menuangkan kesanggupannya itu dalam perjanjian tertulis.
Dengan menolak halus sambil berderai air mata, Bung Karno menolaknya. Karena iba dan prasangka baiknya, Daud Beureuh mengurungkan niatnya untuk mendesak presiden membuat perjanjian tertulis dengan rakyat Aceh. Sungguh tak disangka jika kelak janji yang terucap lisan oleh pemimpin itu diingkari.
Pasca Penyerahan Kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1949, rakyat Aceh mulai mempertanyakan janji Presiden Sukarno untuk memberlakukan Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan penerapan syariat Islam.
Namun, jawaban dari pemerintah justru mengecewakan. Pada sidang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 8 Agustus 1950 di Jakarta, diputuskan bahwa provinsi Aceh dilebur ke dalam pemerintahan provinsi Sumatera Utara.
Daud Beureuh sendiri kemudian ditarik menjadi pejabat tinggi dalam Departemen Dalam Negeri. Daud Beureuh menolak pengangkatan itu dan memilih untuk pensiun. Dia lebih memilih mengajar para santri di pondok pesantren di desanya.
Bekas Gubernur Militer Aceh ini sebenarnya tidak keberatan dengan peleburan provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara, akan tetapi hal yang membuatnya kecewa adalah janji untuk memberlakukan hukum syariat di wilayah Aceh tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat.
Namun, di kemudian hari, karena dinamika politik yang terjadi di dalam negeri yang didorong perubahan sikap pemerintah di Jakarta, para ulama Aceh sepakat untuk melakukan “pembangkangan” pada pemerintah pusat.
Terlebih, setelah terjadi pergantian kabinet pimpinan Wilopo yang didukung Masyumi dan PNI, jatuh dan digantikan oleh Kabinet Ali Satroamidjojo yang didukung oleh PKI pada bulan Juli 1953.
Pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang cenderung kiri ini dianggap oleh para ulama Aceh semakin menjauhkan mereka dari cita-cita pemberlakuan syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah.
Resistensi rakyat Aceh ini kemudian berujung pada proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Aceh yang ditandatangani oleh Daud Beureuh pada tanggal 21 September 1953. Aceh menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa Daud Beureuh sudah mencapai puncak kekecewaan pada pemerintah pusat, karena sebelumnya, Daud Beureuh selalu menyatakan tidak pernah memimpikan berdirinya negara Islam di Aceh, melainkan Aceh hanya memerlukan syariat Islam.
Kelak, hal ini menjadi titik perbedaan utama antara Hasan Tiro dengan Daud Beureuh, ketika Hasan Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Tragis, sang pemimpin yang yang agung itu berkhianat. Pun lagi-lagi, Sukarno malah menuduh bahwa Daud Beureuh melakukan pemberontakan. Dengan seperti itu, Sukarno punya dalih untuk segera membungkam Daud Beureuh.
Daud Beureuh sejatinya tak berniat melakukan “pembangkangan”. Ia hanya mencari jalan agar janji yang pernah terucap, mesti dipenuhi. Diwujudkan sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus kewajiban oleh Sukarno sebagai Presiden. Apalagi, Sukarno sering menasbihkan dirinya sebagai pemimpin besar revolusi, maka sudah seharusnya pantang untuk ingkar.
Tapi apa mau dikata, janji tinggalah janji. Tak lebih hanya pemanis dalam rayuan, terutama oleh retoris yang agung.