Propaganda Republik di Daerah Republik
April 7, 2020Prayitno, Antara Kopasandha dan Brimob
April 17, 2020Peristiwa Minggu Palma, Pengalaman Buruk Brimob Batalion Teratai
Foto di atas tidak berkait langsung dengan artikel ini. Keterangan foto: Pos Densus Alap-alap di Atabai, Timor Timur, tahun 1976. Foto koleksi Kompol (Purn) Samid.
Salah satu episode paling gelap dalam keterlibatan Brimob dalam Operasi Seroja adalah kekalahan pasukan Brimob Batalion Teratai oleh Falintil, tanggal 11 April 1976. Peristiwa ini, yang kemudian disebut sebagai Peristiwa Minggu Palma.
Apalagi, peristiwa ini dikaitkan dengan eksistensi Resimen Pelopor (Menpor/Ranger), yang menjadi pasukan andalan Brimob Polri pada tahun 1950-an sampai dengan 1960-an. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada saat Peristiwa Minggu Palma terjadi, Resimen Pelopor telah dibubarkan – kesatuan ini dilikuidasi pada tahun 1969-1970.
Sayangnya, Batalion Teratai yang ditugaskan ke Timor Timur ini juga mengenakan atribut Resimen Pelopor, dan beberapa personel menggunakan senjata AR 15 beserta seluruh lambang kualifikasi, meskipun seragam yang dipergunakan adalah hijau rimba, sama seperti kesatuan-kesatuan TNI-AD.
Batalion Teratai adalah sebuah batalion Brimob yang dibentuk untuk kepentingan Operasi Seroja. Pembentukan Batalion Teratai ini juga dilakukan dalam kondisi yang buru-buru. Ada tiga kompi pasukan mantan Pelopor dengan jumlah kurang dari 300 personel yang ada di Mako Brimob Kelapa Dua, namun separuh lebih diminta bergabung dalam Densus Alap-alap yang berangkat ke Timor Timur di bawah komando Batalion Para 527 Brawijaya.
Berdasarkan hal tersebut, pasukan yang tersisa di Kelapa Dua yang mempunyai kualifikasi Pelopor tinggal 150 orang. Selanjutnya, kekurangan ini dilengkapi dengan memobilisasi bekas Pelopor yang sudah pindah ke satuan-satuan Lalu Lintas, Reserse, Intelkam dan lain sebagainya.
Pasukan ini juga terdiri dari anggota Brimob dari berbagai kesatuan dan juga tamtama Brimob yang baru saja lulus dari pendidikan di beberapa SPN (Sekolah Polisi Negara). Beberapa di antaranya bahkan merupakan anggota Satuan Perintis (Sabhara) Mabes Polri. Hal ini dilakukan untuk memenuhi standard kekuatan personel batalion Brimob yang berlaku saat itu 500 personel.
Sehingga bisa dipastikan di antara mereka hanya beberapa personel saja yang pernah mendapat pendidikan dan kualifikasi sebagai Ranger/Pelopor, termasuk pimpinan batalion dan beberapa perwira di bawahnya yang memang pernah mendapatkan Pendidikan Pelopor. Selebihnya, mereka merupakan para personel yang hanya paham tugas-tugas kepolisian secara umum.
Beberapa di antara mereka bahkan masih tampak canggung menggunakan senjata AR 15, senapan legendaris Menpor, karena sebelumnya mereka hanya menggunakan senjata Lee Enfield atau US Carabine.
Saat itu, ketika sudah berada di medan tugas Timor Timur, pasukan Brimob Batalion Teratai mendapatkan tugas untuk melakukan penyekatan dan menutup kawasan Bobonaro yang saat itu menjadi target pasukan gabungan TNI dalam ofensif ke Timor Timur.
Penugasan ini, pada awalnya dengan pertimbangan bahwa para personel Batalion Teratai Brimob beberapa di antaranya merupakan mantan anggota Menpor atau berkualifikasi sebagai Pelopor, yang terkenal dengan kualifikasi penembak jitu, sehingga muncul pemahaman bahwa mereka mampu menghadang pasukan Falintil yang mundur terdesak oleh serangan pasukan gabungan TNI dan Polri.
Awal April 1976, serangan terhadap Kota Bobonaro, Timor Timur, dimulai. Serangan ini dilakukan oleh pasukan gabungan dari Marinir, Yonif 507, Yonif 512, Yonif 401, Yonif 403, dan Densus Alap-alap Brimob Polri. Dukungan artileri diberikan oleh Batalion Armed Kodam Brawijaya.
Pasukan Falintil yang berkekuatan sekitar satu batalion itu terdesak oleh serangan gabungan TNI. Mereka mundur. Sebagian besar kekuatan pasukan Falintil adalah veteran pasukan Tropaz yang memiliki pengalaman tempur di Mozambique, Afrika, pada saat konflik antara Portugal dengan negara jajahannya di Afrika tersebut.
Para veteran pasukan Tropaz ini sangat mengenal medan tempur di Timor Timur. Mereka adalah orang asli Timor Timur yang direkrut menjadi tentara Portugal.
Minggu, 11 April 1976, petaka itu pun terjadi. Hari Minggu Palma adalah hari Minggu yang sakral bagi para pemeluk Nasrani, karena pada hari itu adalah bagian dari peringatan Paskah. Oleh karena itu, pada hari itu banyak penduduk yang pergi ke gereja. Dan kesempatan ini kemudian dimanfaatkan Falintil untuk mengelabui pasukan Brimob Yon Teratai,
Pasukan Falintil menggunakan taktik dengan memanfaatkan keramaian penduduk yang pergi ke gereja sebagai tameng hidup. Semakin siang, jumlah penduduk sipil semakin banyak. Pasukan Falintil yang tidak mengenakan seragam menyusup ke tengah-tengah penduduk sipil menembak ke arah pasukan Brimob Teratai.
Pasukan Brimob Teratai terpancing dan melepaskan tembakan balasan, sehingga yang terjadi adalah penembakan terhadap penduduk sipil. Situasi menjadi kacau, Danyon Teratai memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Mundurnya pasukan Batalion Teratai ini dimanfaatkan dengan baik oleh Falintil untuk menempati posisi yang ditinggalkan. Petang harinya, pecah pertempuran antara Falintil melawan Yon Teratai.
Singkatnya, pasukan Brimob Batalion Teratai kocar-kacir sehingga lupa berkoordinasi dengan pasukan induk. Alih-alih berkoordinasi, anak-anak muda anggota Brimob tersebut justru melarikan diri ke arah perbukitan sembari membuang senjata, bahkan ada beberapa mereka yang membuang seragamnya.
Untuk menghadang laju musuh, Komandan Batalion Teratai meminta bantuan tembakan artileri. Namun di luar dugaan, tembakan Howitzer justru jatuh di dekat posisi pasukan Brimob sehingga pasukan pun semakin panik.
Prajurit Satu Marinir Soemantri, seorang anggota KIPAM yang diberi tugas membantu pasukan Brimob, mengingat kejadian itu sebagai sebuah kekacauan besar. Saat itu, posisi pasukan Marinir ada di atas bukit mengejar laju mundur Falintil dan bersebelahan dengan posisi pasukan Brimob Batalion Teratai.
Melihat kondisi yang kacau-balau, komandan pasukan Marinir memerintahkan Pratu Soemantri mengamati keadaan. Pratu Soemantri kebingungan karena melihat banyak pasukan Brimob yang lari, meski ia berusaha menghentikannya.
Dalam Operasi Seroja, ada kode-kode tertentu yang harus diketahui anggota TNI atau Polri. Hal ini bertujuan untuk membedakan anggota TNI atau Polri dengan Falintil yang sudah melepas seragamnya. Sayangnya, kode yang disampaikan Pratu Soemantri tidak pernah dijawab dengan benar oleh anggota Brimob sehingga ia ragu-ragu memberi bantuan.
Karena khawatir menembak teman, Pratu Soemantri hanya mengambil posisi berlindung sambil menyiagakan AK 47-nya. Akhirnya, ia hanya mengamati situasi dan kondisi. Ketika mendapati seorang anggota Brimob yang dikenal, ia segera memanggil dan mengarahkannya ke pos Marinir di atas bukit agar mereka mendapat pertolongan.
Sertu (Purn) Soemantri menjelaskan jika saja anggota Brimob lebih tenang pada saat diserbu dan segera membuat garis pertahanan, maka sebenarnya mereka bisa bertahan. Namun, karena panik semuanya menjadi tidak terkendali.
Kekalahan Batalion Brimob Teratai dalam pertempuran di Selatan Bobonaro ternyata berdampak pada Brimob secara keseluruhan.
Sebenarnya, dalam pertempuran Operasi Seroja, hampir setiap kesatuan di TNI juga pernah mengalami kekalahan atau dihabisi Falintil, namun tidak ada satu pun yang sampai melarikan diri dari pertempuran dengan penuh kekacauan seperti yang terjadi pada Batalion Teratai.
Atribut Pelopor yang dikenakan Batalion Teratai dalam Kogasgab membuat suara sumbang dari berbagai kesatuan tertuju pada Resimen Pelopor. Mereka menganggap bahwa Resimen Pelopor mengalami kekalahan memalukan dalam Tragedi Minggu Palma, padahal sebenarnya Resimen Pelopor sudah bubar secara resmi 6 tahun sebelum peristiwa tersebut.
@matapadi
Sumber bacaan :
Anto A Setyawan & Andi M Darlis, Resimen Pelopor: Pasukan Elite yang Terlupakan, edisi revisi, Yogyakarta: Matapadi Pressindo, 2013.
Bobby Revolta, Operasi Seroja: Di Timor Timur Dahulu Kami Berjuang untuk Negara, Yogyakarta : Matapadi Pressindo, 2017.