Perang Belanda di Aceh
April 22, 2020Menafsir Peran Gedung Inggrisan
April 28, 2020Mengenang Usman - Harun
Kiri, adalah sosok dari Harun bin Said alias Tohir. Kanan, adalah Usman alias Djanatin. Foto ini diadaptasi dari Sunday Times yang terbit pada 16 Februari 2014. Usman dan Harun merupakan prajurit KKO (sekarang Marinir TNI-AL) yang menjadi sukarelawan. Mereka dikirim ke wilayah musuh untuk melaksanakan serangkaian operasi klandestain dan sabotase.
Diketahui, pasca pelaksanaan Operasi Trikora, pemerintah Indonesia kemudian memusatkan perhatiannya terhadap usulan Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu, Tengku Abdulrachman, yang mengemukakan konsep pembentukan Federasi Malaysia di depan The Foreign Correspondent’s Association of South East Asia di London.
Usulan ini sebenarnya bukan usulan yang pertama. Gagasan pembentukan Federasi Malaysia sejatinya telah muncul sejak tahun 1887. Kemudian pada tahun 1949, gagasan ini muncul kembali. Namun pada kedua peristiwa tersebut pemerintah Inggris belum menanggapinya secara serius.
Baru pada tahun 1961, usulan ini ditanggapi secara serius oleh Inggris. Hal ini juga dilakukan berdasarkan pada kepentingan Inggris untuk membendung arus komunisme ke Asia Tenggara. Selain itu juga kekhawatiran terhadap Indonesia, di mana pada tahun 1945, sempat muncul wacana untuk membentuk Indonesia Raya dengan basis bekas wilayah Kerajaan Majapahit.
Berbagai upaya untuk menggagalkan pembentukan Federasi ini berakhir pada kebuntuan, termasuk dengan perundingan-perundingan. Hingga akhirnya, pada 3 Mei 1964, dikumandangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) oleh Presiden Sukarno.
Jauh sebelum pengumuman Dwikora, sebagai satuan tempur yang strategis, KKO sejak bulan September 1963, sudah membentuk kesatuan tugas operasi yang dikirim ke perbatasan. Kemudian pada 21 September 1963 dibentuk satu kompi pasukan diperkuat untuk menjaga perbatasan dan memberikan perlindungan kepada sukarelawan-sukarelawan yang dikirim.
Selain menjaga perbatasan, KKO juga ditugaskan untuk melakukan operasi-operasi seperti kontra intelijen, infiltrasi atau penyusupan, sabotase dan lain sebagainya. Dan tugas penyusupan ke Singapura ini dilakukan prajurit KKO bernama samaran Usman, Harun dan seorang sukarelawan bernama Gani, yang dilakukan pada 9 Maret 1965.
Usaman alias Janatain, Harun alias Tohir dan Gani, melaksanakan tugas penyusupan ke Singapura pada 9 Maret 1965. Mereka melaksanakan tugas untuk sabotase dan peldakan gedung Macdonal House di Singapura.
Puncaknya, mereka berhasil melakukan pengeboman terhadap MacDonald House, dengan menggunakan bahan peledah seberat 25 pons (sekitar 12,5 kg). Aksi itu dilakukan pada 10 Maret 1965.
Bom meledak di dalam gedung MacDonald House, Orchard Road, Singapura. Ledakan kuat menggelegar, mengguncang gedung-gedung, mengoyak dinding dan tangga, serta meruntuhkan pilar-pilar bangunan.
Kaca-kaca jendela di bangunan yang berjarak 100 meter dari gedung hancur. Dampak bom juga merusak nyaris semua kendaraan yang terparkir di depan gedung.
Bom juga merusak kantor Komisi Tinggi Australia (Australian High Commission) yang ada di dalam bangunan gedung. Para saksi mata mengaku melihat kilatan cahaya sebelum suara ledakan itu menggelegar memekakkan telinga.
Situasi di sekitar lokasi setelah peledakan pada sore hari itu mendadak kelam dan panik.
Akibat peledakan terhadap MacDonnald House itu berdampak pada bangunan di sekitar gedung. Setidaknya terdapat 20 toko di sekitar hotel mengalami kerusakan. Ledakan tersebut juga menyebabkan tewasnya enam orang, dalam versi lain menyebutkan tiga orang, dan sejumlah 35 orang lainnya mengalami luka berat dan ringan.
Namun, keberhasilan mereka melakukan sabotase dengan meledakkan bom itu tidak disusul dengan keberhasilan mereka keluar dari Singapura.
Pada 13 Maret 1965, ketika berusaha untuk kembali ke Pulau Sumbu yang menjadi Basis X anggota sukarelawan, Usman dan Harun tertangkap otoritas keamanan Singapura, sedangkan Gani berhasil berpencar dengan keduanya.
Pada 4 Oktober keduanya dihadapkan pada sidang pengadilan Mahkamah Tinggi Singapura, hingga akhirnya pada tanggal 20 Oktober 1965, Usman dan Harun mendapatkan vonis berupa hukuman mati dari Mahkamah Tinggi Singapura.
Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Usaha untuk membebaskan keduanya dilakukan pemerintah dengan menyatakan naik banding kepada Privy Council di London, Inggris. Pada awal 1968, pemerintah juga telah menyiapkan empat orang pengacara untuk menjadi pembela bagi dua orang prajurit KKO itu.
Bahkan permintaan grasi juga dilakukan kepada Presiden Singapura saat itu, Jusuf bin Ishak. Namun Presiden Singapura itu tak mampu berbuat apa-apa. Dengan jawaban dramatis, Jusuf bin Ishak itu berkata, “saya di sini hanya sebagai simbol saja”.
Permintaan terbuka diajukan oleh Presiden Indonesia kala itu, Soeharto, kepada Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, agar memberikan keringanan hukuman kepada Usman dan Harun. Namun permintaan itu juga ditolak oleh Lee Kuan Yew.
Setelah semua usaha mengalami penolakan, pemerintah Singapura akhirnya melaksanakan putusan pengadilan Singapura untuk mengeksekusi Usman dan Harun. Keduanya dieksekusi di Penjara Changi, Singapura, pada 17 Oktober 1968, tepat pada pukul 06.00 pagi waktu setempat.
Setelahnya, jenazah keduanya diserahkan kepada Atase Pertahanan RI, Letkol (L) Gani Djemat. Dengan menggunakan pesawat C-130 AURI tim penjemput ABRI yang dipimpin Kapten KKO Subiyantoro menerbangkan jenazah Usman dan Harun ke Tanah Air.
Setibanya di lapangan udara Kemayoran, diadakan upacara penerimaan jenazah dengan inspektur upacara Menpangal, Laksamana Mulyadi, untuk disemayamkan di aula Dephankam ABRI. Baru pada keesokan harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Sepanjang perjalanan menuju makam, masyarakat memenuhi jalanan untuk memberi penghoramatan terakhir kepada pahlawan yang gagah berani itu. Keduanya juga dianugerahi gelar pahlawan oleh presiden Soeharto dan kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi.
Sumber bacaan :
- Markas KKO AL, Korps Komando AL: Dari Tahun ke Tahun, Jakarta: Bagian Sejarah KKO-AL, 1971.
- Mabes TNI, Sejarah TNI Jilid III (1960-1966), Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000
- Ahmad Ammar Muazzaky, KKO hingga Marinir 1948-1975, Pasang Surut Pasaukan Pendarat TNI- AL, Yogyakarta: Matapadi Pressindo, 2019.
- Petrik M, Hantu Laut: dari KKO-Marinir Indonesia, Yogyakarta: Matapadi Pressindo, 2011.