Prayitno, Antara Kopasandha dan Brimob
April 17, 2020Mengenang Usman – Harun
April 22, 2020Perang Belanda di Aceh
Sebagai imperialis yang tamak, Belanda berupaya menundukkan seluruh kekuasaan kerajaan di sepanjang Nusantara. Mereka, Belanda, dengan berbagai cara dan upaya berusaha menundukkan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Hingga abad ke-19, Aceh merupakan satu-satunya wilayah di Nusantara yang tidak dikuasai bangsa Eropa. Selain itu, Aceh dengan kemampuan diplomasinya, berhasil membangun aliansi yang mesra dengan beberapa kerajaan di sekitar Selat Malaka.
Hubungan mesra, namun saling hormat ini, membuat khawatir Belanda yang telah mulai berkuasa di beberapa wilayah di Nusantara. Terutama, karena Aceh memiliki posisi yang strategis: terletak di muka pintu masuk jalur perdagangan tersibuk di dunia kala itu, bahkan hingga sekarang – Selat Malaka. Juga karena Aceh kaya akan lada, dan Aceh merupakan pemasok utama lada dunia hingga akhir abad ke-19.
Dalam pikiran Belanda, Aceh harus ditaklukkan. Karena bagaimanapun, Selat Malaka memiliki nilai strategis, terutama untuk kepentingan Belanda mengangkut hasil bumi dari wilayah di Nusantara. Juga untuk kepentingan memonopoli dan menguasai dominasi jalur perdagangan laut yang melalui Selat Malaka. Dalam bayangan Belanda, jika Selat Malaka dikuasai maka dunia akan dikuasainya.
Fakta bahwa Aceh sebagai kerajaan yang berdaulat sejatinya membuat Belanda benar-benar berhitung, artinya dalam penaklukan terhadap Aceh, Belanda pada mulanya melakukannya dengan hati-hati. Strategi dan taktik disusun dengan sangat serius.
Dalam konteks ini, upaya serius Kerajaan Belanda dalam penakluklan Aceh dimulai pada 19 Maret 1873. Kerajaan Belanda melalui pemerintah Hindia Belanda di Nusantara mengutus J.F Nieuwenhuijzen untuk datang ke Aceh.
Kedatangan Nieuwenhuijzen ini, sekaligus dikawal oleh armada laut dan serdadu Belanda. Ia bersama armadanya yang terdiri dari kapal Citadel van Antwerpen dengan dikawal kapal perang lainnya seperti Marnix, Coehorn, dan Siak, berlabuh di Pantai Cermin, Ulee Lheue, Kutaradja (Banda Aceh). Dalam kekuatan armada Belanda itu termasuk sejumlah serdadu lebih dari 3000 orang personel.
Kedatangan armada Belanda di lepas Pantai Aceh itu memang tak serta merta langsung mengerahkan kekuatan militernya. Belanda melakukan upaya-upaya pendekatan secara diplomatik dengan berkirim surat dan utusan kepada Sultan Aceh, Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1873).
Keberadaan armada Belanda di lepas Pantai Aceh, sejatinya merupakan pelanggaran kedaulatan Kerajaan Aceh. Namun demikian, Sultan Aceh masih tampak menahan diri, bersabar.
Aceh kemudian membalas surat ataupun utusan dari pihak Belanda tersebut, satu demi satu. Jawaban atau respon diberikannya sebagaimana lazimnya hubungan diplomatik antara dua negara.
Sultan Aceh memahami betul bagaimana kesetaraan dibangun dalam hubungan diplomasi. Dalam arti, kedaulatan dan kehormatan masing-masing pihak mesti dijaga. Sekalipun ancaman sekaligus pelanggaran sudah tampak di depan mata.
Belanda sebagai pihak pertama yang melayangkan surat tersebut, akhirnya, dengan menggunakan bahasa provokatif, melayangkan dakwaan yang ditujukan kepada Aceh. Kesimpulan dari surat tersebut adalah agar Aceh mengakui kedaulatan dan tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda.
Dalam gejolak menahan kemarahan, karena kedaulatannya telah dilanggar Belanda, Sultan Aceh masih berupaya dengan wajar menjawab semua permintaan Belanda dengan membalas surat-surat atau utusan Belanda itu.
Kemudian, dalam salah satu surat balasan Sultan kepada pihak Belanda, antara lain berbunyi sebagai berikut :
“Pengiriman utusan-utusan Belanda untuk berunding dengan pemerintah Kerajaan Aceh tidak ada gunanya. Karenanya maksud tersebut supaya diundurkan saja dan saya tegaskan kepada tuan bahwa, saya dari darat telah melakukan penghormatan kepada Gubernemen Hindia Belanda dengan 21 kali memasang meriam, sedangkan tuan tiada menerima balasan kehormatan itu, bahkan tuan telah begitu lancang melanggar kedaulatan wilayah Kerajaan Aceh.”
Nieuwenhuijzen, sangat marah ketika membaca balasan surat Sultan dan menyimpulkan akan mendobrak Aceh dengan kekerasan.
Tepat pada 26 Maret 1873, dengan kekuasaan dan wewenang yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda kepadanya, Nieuwenhuijzen, menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh. Ultimatum ini juga memberi ancaman kepada setiap orang Aceh, akan segala dampak yang ditimbulkan oleh perang Belanda itu.
Ultimatum ini dengan terang telah melanggar daulat dan martabat bangsa Aceh. Sultan kemudian mengumpulkan para petinggi kerajaan untuk berunding menyatukan tekad melawan Belanda.
Singkatnya, dalam musyawarah itu sepakat bahwa, Aceh tidak akan tunduk kepada Belanda. Segenap lapisan rakyat diserukan untuk ikut mempertahankan kedaulatan negara dan Islam dengan semangat: Udep merde’ka, mate syahid; langet sihet awan peutimang, bumoé reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna, demikian titah Sultan.
Dalam serangan yang dilancarkan Belanda kali pertama itu, mereka akhirnya mengalami kekalahan. Tak cuma itu, Belanda harus menaggung malu yang teramat sangat, di mana pada 14 April 1873, pimpinan pasukan Belanda, Jenderal Mayor J.H.R Köhler tewas ditembak pejuang Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Kutaradja.
Ketika Köhler tertembak, dengan dramatis dia berucap, “O God, Ik ben getroffen” (ya Tuhan, aku kena). Dan itu menjadi ucapan terakhir yang keluar dari mulut Jenderal Kohler ketika sebutir peluru menembus dadanya.
Sang Jenderal itu pun terkapar dan tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman. Belanda tidak mengira akan mendapatkan perlawanan setangguh ini.
Dalam rangkaian peperangan berikutnya yang berlangsung terus-menerus, Belanda hampir 69 tahun tak henti-hentinya berperang di Aceh. Aceh adalah negara yang paling akhir dimasukkan ke dalam pemerintahan Hindia Belanda. Dan, Aceh juga yang pertama kali keluar dari Hindia Belanda pada tahun 1942, seiring kemenangan Jepang atas Hindia Belanda.
Kelak, banyak pahlawan Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang syahid kena peluru atau kelewang Marsose (pasukan khusus KNIL) Belanda. Namun demikian, dari Aceh pula muncul para petarung yang tak mengenal gender, banyak perlawanan yang juga dipimpin oleh kaum perempuan.
Bahkan, dari Aceh pula, kesadaran akan kesetaraan telah muncul lebih awal, jauh sebelum Kartini lahir. Kaum perempuan Aceh yang memimpin perjuangan justru banyak yang membuat Belanda kelimpungan – sangat menguras kekayaan mereka.
Dalam beberapa hal, pihak militer Belanda bahkan hingga mendirikan satuan elite untuk memburu para pejuang Aceh itu, Marsose. Di mana mereka berlaku layaknya pasukan dengan kualifikasi Pemburu atau Pelopor jika dilihat dari kacamata kemiliteran kekinian.
Sekalipun perjuangan dipimpin oleh kaum perempuan, Belanda jelas tak mampu dan mengalami kesulitan menundukkan Aceh.
Dan, seperti sudah menjadi kelaziman yang muncul di seluruh Nusantara, para pejuang sekaligus petarung itu dikalahkan dengan cara-cara licik, dengan dijebak menghindari pertempuran terbuka. Namun demikian, meski ditangkap dan diasingkan, para pejuang itu tak pernah bersedia tunduk kepada Belanda hingga akhir hayat.
Keterangan foto : lukisan pendaratan pasukan Belanda di Aceh.
Sumber foto : The Dutch Colonial War in Aceh
Referensi :
- Buku Aceh Sepanjang Abad jilid 1 dan 2
- https://kabarmedan.com/menyoal-memori-aceh-26-maret-1873/
- Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Udep Merdeka, Mate Syahid, https://aceh.tribunnews.com/2018/03/26/udep-merdeka-mate-syahid.
- Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul 130 Tahun Maklumat Perang Aceh