Doktrin Perjuangan dari ‘Saudara Tua’
August 28, 2020Mengenang Pelaut Nusantara
September 10, 2020Gerilya Bahari: Fenomena ‘Bajak Laut’ di Nusantara Abad Ke-19
Sudah sejak abad ke-16, kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ada di sekitar perairan Nusantara telah membawa perubahan. Awalnya mereka memang datang untuk kepentingan perdagangan maupun ekspedisi pelayaran lainnya. Perdagangan umumnya dilakukan mereka dengan beberapa kerajaan di Nusantara. Namun lambat laun, dengan politik ekspansinya, mereka semakin agresif untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang kaya di Nusantara.
Untuk menopang kepentingan ini, maka berkuasa atas lautan menjadi keniscayaan. Karena, laut masih menjadi jalur utama perdagangan antarnegara ketika itu. Politik ekspansi negara-negara kolonial (Barat) ini juga dibakar dengan pencapaian kemajuan dalam berbagai bidang sebagai dampak dari Revolusi Industri yang muncul pertama kali di Eropa.
Kapal-kapal Barat yang semakin mendominasi kawasan perairan Nusantara muncul dengan berbagai kemajuan teknologi pelayaran. Mereka juga melakukan politik ekspansi terhadap penguasa-penguasa setempat dengan berbagai macam strategi penaklukan. Perlahan, para pelaut Nusantara mulai tersingkir, namun di saat yang sama memunculkan resistensi baru di lautan, perompakan.
Gejala bajak laut yang semakin mengemuka pada abad ke-19. Meskipun eksistensi bajak laut pada masa sebelumnya telah ada, namun berbagai peristiwa yang terkait dengan bajak laut pada masa ini mengalami peningkatan tajam. Dan ini seiring dengan semakin dominannya negara-negara kolonial, baik di daratan maupun di lautan di Nusantara.
Linier dengan politik ekspansi kolonial di lautan, fenomena bajak laut ini juga muncul beriringan. Bahkan dalam beberapa kebijakan kolonial untuk menangani persoalan perompakan, menjadi agenda rutin penguasa kolonial di perairan di abad ke-19. Mereka menyimpan catatan tersendiri atas meningkatnya fenomena bajak laut abad ke-19 yang terekam dalam berbagai karya yang mengupas tentang masalah bajak laut.
Sederhananya, meskipun tidak secara keseluruhan, ada korelasi antara usaha pemberantasan bajak laut dengan politik ekspansi kolonial. Atau bisa juga dikatakan bahwa fenomena bajak laut yang ada di sepanjang perairan Nusantara merupakan resistensi atas semakin dominannya penguasaan perairan oleh negara-negara kolonial.
Sartono Kartodirdjo dalam dalil desertasinya, The Peasants’ Revolt of Banten … (1966), mengatakan dengan, “… fenomena sejarah bajak laut pada abad ke-19 di Indonesia akan mengoreksi citra keliru yang menggambarkan gejala tersebut sebagai suatu gejala kriminal.”
Para penulis Barat dengan obyektifitasnya sendiri bahkan menuliskannya bahwa, kegiatan bajak laut di Asia Tenggara sebagai suatu reaksi terhadap politik kolonial.
“Kekerasan dan pemerasan oleh orang Portugis dan Spanyol, dan tidak sedikit juga kontrak dagang yang diadakan sewenang-wenang oleh Kompeni Belanda untuk Hindia Timur (VOC) dengan raja-raja dan bangsa-bangsa pribumi telah ikut mendorong mereka (menjadi bajak laut). Sebenarnya kontrak tersebut tidak pernah ditandatangani dengan sukarela; biasanya perjanjian itu dipaksakan, dan di samping itu raja-raja dan kepala-kepala dalam banyak hal tidak memperhitungkan akibat yang akan terjadi karena kontrak tersebut …”
Dalam berbagai operasi penanganan bajak laut yang dijalankan oleh penguasa kolonial pada abad ke-19, rata-rata bajak laut di Nusantara akan bernasib malang: mati karena serangan serdadu kolonial, tertangkap dan dihukum mati oleh pengadilan kolonial dalam usahanya menerapkan law and order menurut nilai-nilai Barat, atau juga dibunuh oleh rakyat setempat atas perampokan harta bendanya – termasuk dengan penculikan warga kampung yang dijadikan budak.
Selain itu, dalam penanganan bajak laut di Nusantara, para penguasa kolonial terkadang menyelipkan tuduhan-tuduhan berbau sara dan sentimentil, dengan mengaitkan aktivitas bajak laut dengan ritus keagamaan.
Catatan sentimentil dan berkesan sara ini bisa dijejak, misalnya, dalam karya P.J Verth (1870) dengan judul, “Perompakan Laut di Kepulauan Hindia dilihat sebagai Suatu Bentuk Khusus dari Perang Sabil terhadap Orang Kafir”. Juga karya Montero Vidal (1888) yang tercermin dari judulnya, Historia de la piratería malayo-mahometana en Mindanao, Joló y Borneo (Sejarah Bajak Laut Melayu-Mohammetana, Mindanao, Jolo dan Kalimantan).
Namun ini akan tampak kontradiksi, mengingat ekspansi kolonial Barat juga disertai dengan semboyan Gold, Glory, dan Gospel, di mana Gospel dalam pemahaman mereka merupakan tugas suci yang harus dijalankan dengan menyebarkan agama Nasrani ke seluruh wilayah kekuasaan. Yang juga bisa dimaknai sebagai dalil sekaligus dalih dari ritus keagamaan untuk menunjang politik ekspansi mereka.
Tuduhan dengan latar agama sejatinya menunjukkan titik lemah dan keterbatasan mereka dalam menjalankan politik ekspansinya, baik di darat maupun di lautan. Cara licik yang memang lazim bagi kolonial.
Dengan semakin dominannya kekuatan Barat di Nusantara, maka para pelaut pribumi jatuh dalam kekuasaan kolonial. Dan bagi siapapun yang menolak tunduk akan dianggap liar dan dicap sebagai bajak laut, atau kekuatan mereka akan digeser ke dalam status bajak laut. Sehingga kolonial memiliki dalih untuk memerangi mereka.
Setelahnya, para bajak laut banyak diburu oleh penguasa kolonial. Bajak laut digolongkan sebagai kejahatan yang khas. Sehingga dalam penanganan bajak laut di abad ke-19 tidak diberlakukan soal status kewarganegaraan pelaku. Pengadilan kolonial berhak memberi hukuman kepada para bajak laut yang tertangkap. Pada abad ke-19, banyak wilayah kerajaan di Asia Tenggara yang masih berstatus merdeka dan berdampingan dengan kekuasaan kolonial.
Masa-masa ini kekuasan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara semakin mulai meluas pasca kebrangkutan VOC. Pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan ini memiliki satuan militer yang disebut sebagai KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger).
Dan sebagai tentara kolonial, KNIL-lah juga ditugaskan untuk menumpas aktivitas bajak laut di perairan di wilayah yang mereka kuasai. []
@matapadi
Sumber bacaan:
- Anthony Reid. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 – 1680, Jilid 2, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Adrian B. Lapian. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Jakarta: Komunitas Bambu.
- Bayu Widyatmoko. 2014. Kronik Nusantara: Liga Raja-Raja hingga Kolonial. Yogyakarta: Matapadi Pressindo.
- Djoko Nugroho Irawan. 2012. Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti.