Gerilya Bahari: Fenomena ‘Bajak Laut’ di Nusantara Abad Ke-19
September 4, 2020Revolusi dalam Pusaran Elite Sipil dan Militer: Tentang Revolusi di Indonesia (I)
October 23, 2020Mengenang Pelaut Nusantara
Nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa
…..
Lirik di atas merupakan petikan lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut yang sering dinyanyikan anak-anak di sekolah. Dalam laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, lagu ini diciptakan pada tahun 1940 oleh Saridjah Niung atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ibu Soed.
Lalu apakah lagu tersebut tercipta begitu saja tanpa referensi dan motivasi apapun?
Sebagai negara kepulauan, atau lebih tepatnya negara dengan lautan yang dikelilingi kepulauan (daratan), maka sudah seharusnya aspek kelautan menjadi perhatian utama. Dalam hal ini, jika menilik lebih jauh dengan luasnya lautan (perairan) di Nusantara mencapai 3,25 juta kilometer persegi dari total wilayah Indonesia 7,81 juta kilometer persegi. Sementara luas daratan adalah 2,01 juta kilometer persegi. Artinya potensi sumber daya yang terkandung di lautan lebih luas jika dibandingkan dengan daratannya. Maka, sudah semestinya aspek kemaritiman ini menjadi pokok perhatian.
Berlangsungnya peradaban di Nusantara di masa lampau – bahkan hingga sekarang, sejatinya bertalian erat dengan kejayaan para leluhur kita di lautan, seperti tergambar dalam lirik Nenek Moyangku di atas. Namun dalam perjalanannya kini, dalam beberapa aspek, hanya menjadi romatis dan heroisme masa lampau: bangga dalam kenangan dan bermartabat dalam angan-angan. Padahal, kejayaan dan keunggulan para pelaut Nusantara bukanlah isapan jempol belaka.
Diego de Couto, pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 dalam bukunya yang berjudul Da Asia (1645), menyatakan bahwa, “Orang Jawa sangat berpengalaman dalam seni navigasi. Mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini. Walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa.”
Lebih tegas lagi, Tom Pires yang juga seorang pelaut Portugis dalam karyanya Summa Orientel (1515) menyatakan dengan, “Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa.”
Sekedar catatan, Jung merupakan kapal layar bercadik para pelaut Jawa yang digambarkan oleh Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511, dengan cukup detail. Di antaranya Jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis.
Bobot Jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis. Dalam catatan Alfonso sendiri kemudian menuliskan bahwa Jung terbesar adalah dari Kerajaan Demak yang bobotnya mencapai 1.000 ton, digunakan sebagai pengangkut pasukan Demak untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513.
Dalam beberapa catatan, pembangunan kapal Jung dibuat dengan sistem dasar jalinan papan, tanpa menggunakan paku besi. Papan-papan tersebut disatukan dengan menggunakan pasak yang terbuat dari kayu. Sehingga kapal Jung bisa dikatakan dibuat dengan sistem “knock down”.
Yang masih menjadi pertanyaan adalah, teknik seperti apakah yang membuat Jung bisa tahan terhadap tembakan meriam Portugis seperti yang diutarakan Alfonso?
Dari sini tampak sudah bahwa sejatinya kejayaan para pelaut Nusantara ketika itu tidak hanya unggul dalam keahlian dalam pelayaran, tetapi juga unggul dalam penguasaan teknologi pelayaran.
Namun, sejak di daratan Eropa terjadi Revolusi Industri (1750-1850) yang berdampak ke berbagai bidang, termasuk teknologi perkapalan, secara perlahan ekspedisi kapal-kapal dari Eropa semakin mendominasi lautan di Nusantara. Kapal-kapal Eropa telah menggunakan mesin sebagai penggerak kapal sehingga tidak lagi tergantung pada arah angin dan musim.
Dimulai menjelang akhir abad ke-18, terjadi perubahan yang radikal terkait teknologi pelayaran dengan diadakan percobaan pelayaran menggunakan tenaga uap sebagai sumber penggerak kapal. Sehingga begitu memasuki abad ke-19, pelayaran dengan menggunakan tenaga uap mulai diterapkan di kapal-kapal Barat yang melakukan ekspedisi di perairan Asia Tenggara, termasuk di perairan Nusantara.
Ketika kapal-kapal Barat masih menggunakan kapal api, para pelaut di Nusantara yang masih menggunakan angin masih belum bisa tersaingi. Namun dengan peningkatan teknologi perkapalan yang ditopang dengan pengetahuan hidrografi dan oseanografi yang semakin maju dari Barat, eksistensi para pelaut di Nusantara semakin tersingkir.
Revolusi Industri ini juga mendorong terjadinya industrialisasi yang mendorong negara-negara Barat untuk memperluas wilayah jajahan yang menyediakan bahan mentah untuk kepentingan industri mereka, sekaligus menjadikan daerah jajahan sebagai sasaran pemasaran produk mereka.
Praktis, kawasan Asia Tenggara termasuk Nusantara menjadi incaran bangsa-bangsa Barat. Apalagi, di kemudian hari, mereka semakin berhasrat untuk menjadi kekuatan dominan di lautan, dengan tujuan penguasaan dan memonopoli perdagangan, di mana pelayaran merupakan pokok dari berlangsungnya perdagangan ketika itu.
Dari politik ekspansi yang dijalankan Barat, secara perlahan namun pasti telah menampakkan kehadiran imperalisme modern di kawasan Asia Tenggara. Meskipun antara Inggris, Spanyol dan Belanda telah ada pembagian wilayah kepentingan, namun mereka masih berselisih terhadap beberapa daerah untuk kepentingan mereka.
Menjelang akhir abad ke-19, upaya negara-negara kolonial (Barat) untuk mendominasi lautan kian menunjukkan hasil, atau bisa dikatakan berhasil, terutama untuk perairan di kawasan Asia Tenggara.
Dengan kata lain, masa ini menjadi masa yang sangat penting, karena, secara perlahan, keunggulan dan kejayaan para pelaut di Nusantara juga terdegradasi oleh kekuatan negara-negara kolonial.
Kini, apakah itu hanya sekedar romantisme masa lalu atas keberanian para moyang kita? Ataukah kita hendak kembali pada hakikat dan jati diri bahwa sebenarnya laut – dengan segala limpah ruahnya, menjadi bagian utama dalam kehidupan bernegara kita?
Tabik!
@matapadi
Bahan bacaan:
- Anthony Reid. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450 – 1680, Jilid 2, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Adrian B. Lapian. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Jakarta: Komunitas Bambu.
- Bayu Widyatmoko. 2014. Kronik Nusantara: Liga Raja-Raja hingga Kolonial. Yogyakarta: Matapadi Pressindo.
- Djoko Nugroho Irawan. 2012. Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Suluh Nuswantara Bakti.