Mengenang Pelaut Nusantara
September 10, 2020Memadamkan Api Revolusi: Tentang Revolusi di Indonesia (II)
October 26, 2020Revolusi dalam Pusaran Elite Sipil dan Militer: Tentang Revolusi di Indonesia (I)
Kajian komparatif tentang beberapa revolusi yang terjadi di dunia berhasil mengungkap sejumlah elemen penting. Di samping persamaan, sejumlah perbedaan yang menjadi karakteristik setiap revolusi berhasil ditemukan. Berdasar temuan, dengan menggunakan kriteria tertentu, para ahli kemudian menyusun definisi dan klasifikasi.
Pada dasarnya masing-masing revolusi memiliki karakteristik tersendiri, sehingga amat sulit dibuat generalisasinya.
Meskipun demikian pada beberapa revolusi ditemukan titik persamaan, seperti pada Revolusi Inggris (1640), Revolusi Perancis (1789) dan Revolusi Rusia (1917) ditemukan persamaan, yaitu dimulai dengan harapan dan sikap yang moderat, krisis dalam pemerintahan teror, dan berakhir pada kediktatoran.
Unsur yang sama ini tidak berlaku dalam revolusi yang lain, misalnya Revolusi Amerika (1776), sebab Revolusi Amerika bersifat teritorial-nasional, dijiwai sikap patriotik menghadapi Inggris.
Akan tetapi bila keempat revolusi (Inggris, Perancis, Rusia, Amerika) diperbandingkan juga terdapat unsur yang sama, yaitu pemerintah berusaha mengumpulkan uang dari rakyat dan rakyat menolaknya, pertentangan yang lama dengan yang baru sering berwujud kekerasan, adanya kelompok kecil (kelompok rahasia) yang sangat aktif dan mempunyai motivasi serta keyakinan kuat. (Lihat Crane Brinton, The Anatomy of Revolution (New York: Vintage Book, 1965))
Penggunaan kriteria tersebut melibatkan sudut pandang atau teori tertentu, sehingga pemahaman terhadap istilah yang dikemukakan oleh seorang ahli dapat dikembalikan pada definisi dan teori yang digunakan. Sedangkan temuan lain dalam kajian perbandingan revolusi, adalah bahwa revolusi sejatinya suatu gejala yang kompleks.
Revolusi tidak hanya memancarkan aspek politik, tetapi juga ekonomi, sosial dan kejiwaan. Masing-masing aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkait, membentuk jalinan dan memberikan kontribusi sehingga revolusi dapat berlangsung.
Terdapat beberapa klasifikasi tentang revolusi. Ada yang membedakan menjadi: revolusi istana pribadi, revolusi istana publik, revolusi kolonial, revolusi nasional yang besar dan revolusi sistemik; George Pettee, “Revolution-Typology and Process” dalam Ronald Ye-Lin Cheng (Ed.), The Sociology of Revolution, Readings on Political Upheaval and Popular Unrest (Chicago: Henry Regnery Company, 1973).
Selain itu, untuk menyebutkan klasifikasi lain yang membedakannya menjadi: Jacquerie, pemberontakan milenaristis, pemberontakan anarkhis, revolusi komunis Jacobin, kudeta konspiratorial dan pemberontakan militer yang melibatkan massa; Chalmers Johnson, Revolutionary Change (Boston: Little, Brown and Company, 1966).
Sementara yang lain juga membedakannya menjadi: revolusi para otoriter, revolusi kaum oligarkhi dan revolusi kelompok konservatif; Crane Brinton, 1965, ibid.
Ahli lain membedakannya lagi menjadi “revolusi sosial” dan “revolusi nasional”; W.F. Wertheim, Evolution and Revolution, The Rising Waves of Emancipation (Middlesex: Penguin Books, 1974).
Dan, yang mengikuti teori Marxis, membedakannya sebagai “revolusi sosial” dan “revolusi borjuis”; Karl Marx, “The Content of Revolution is Social, Not Political”, dalam Krishan Kumar, Revolution, The Theory and Practice of a European Idea (London: Weidenfeld and Nicolson, 1971). Sering pula istilah itu digabungkan, seperti “revolusi borjuis nasional” karena adanya ciri revolusi borjuis dalam revolusi nasional, yaitu masa prarevolusioner ditandai adanya peningkatan mobilitas sosial vertikal.
Hasil akhir revolusi banyak ditentukan oleh keterlibatan militer. Dan, dapat dikatakan, siapa yang menguasai angkatan bersenjata lalu memanfaatkan secara baik, dialah pemenangnya. Tidak pernah terjadi kelompok revolusioner yang menang tanpa mendapat dukungan dari angkatan bersenjata.
Akan tetapi, revolusi Nasional Indonesia telah dipandang sebagai sebuah gejala sejarah yang kompleks. Sebab, sebagai sebuah proses, Revolusi Nasional Indonesia merupakan interaksi faktor-faktor internal dan eksternal. Meskipun dapat dibedakan, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan dan terjalin erat sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga KMB (Konferensi Meja Bundar).
Walau demikian masih terdapat perbedaan untuk memberi label peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kurun 1945-1949 di Indonesia.
Istilah Revolusi Indonesia atau Revolusi Nasional Indonesia dipakai di sini karena akibatnya yang menyolok yakni terciptanya Negara Indonesia. Di samping itu, juga ada istilah Perang Kemerdekaan yang masih menjadi perdebatan di antara para ahli.
Perang Kemerdekaan oleh sebagian ahli dipandang sebagai istilah yang dipakai oleh ahli strategi dan kelompok militer, karena ingin memaksakan format non-revolusioner dan mengangkat peristiwa-peristiwa periode 1945-1949 sebagai sumber legitimasi Angkatan Bersenjata.
Seperti yang ditulis oleh Anthony Reid, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8 Tahun ke-X, Agustus (Jakarta: LP3ES, 1981). Dan, pemahaman ini tentu tidak dapat disejajarkan dengan istilah Revolusi Industri, Revolusi Demografis, Revolusi Elektronik, dll.
Untuk hal ini revolusi sebatas dipakai dalam artian kias dan hanya bersangkut paut dengan unsur perkembangan cepat serta pembaharuan mendasar di bidang-bidang di mana perubahan revolusioner itu terjadi seperti diterangkan oleh W.F. Wertheim.
Sartono Kartodirdjo mengungkapkan, bahwa Revolusi Indonesia merupakan suatu proses politik yang terus menerus yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal itu, sehingga bentuk dan arahnya ditentukan olehnya. Sartono menempatkan faktor eksternal sebagai diplomasi atau konstelasi internasional yang tersusun oleh hubungan antara nasion-nasion, sedangkan faktor internal adalah interaksi antara golongan-golongan (Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktural”, Prisma, No.8. Agustus (Jakarta: LP3ES, 1981)).
Pemahaman dari Sartono dapat diperluas, terutama faktor eksternalnya. Semua kekuatan dari luar yang ikut campur pada jalannya Revolusi Indonesia dalam kontesk ini dapat dipandang sebagai faktor eksternal. Sedangkan untuk perbandingan dapat ditengok pula apa yang disebutkan Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid I, Agustus 1945-Maret 1946 (Jakarta: KITLV-Jakarta & Yayasan Obor Indonesia, 2008).
Selama berlangsung (1945-1949), Revolusi Nasional Indonesia sempat bergerak ke kiri sebelum akhirnya mengarah ke kanan. Dalam studinya, Crane Brinton menjelaskan bahwa dalam empat revolusi yang dikaji terdapat kecenderungan bahwa kekuasaan beralih dari kanan ke tengah dan kemudian ke kiri. Dari golongan konservatif (kanan) kepada golongan moderat (tengah), lalu ke golongan radikal (kiri). Sedangkan di Amerika pergerakan semacam itu tidak pernah meluncur jauh ke kiri.
Di Indonesia, para pemimpin melihat arah kanan itu menjadi jalan yang paling singkat untuk mencapai pengakuan kedaulatan. Akibtanya, selama ini muncul dua istilah yang digunakan, yaitu ”pengakuan” dan ”penyerahan” kedaulatan.
Kedua istilah itu ada dalam salah satu pasal persetujuan KMB. Pasal 1 berbunyi “Kerajaan Belanda dengan tidak bersyarat dan dengan tidak dapat dibatalkan lagi menyerahkan kedaulatan penuh atas Indonesia pada Republik Indonesia Serikat dan dengan demikian mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat” (Mohammad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI (Jakarta: Gramedia, 1989); lihat juga Muhammad Yamin, Pembentukan dan Pembubaran Uni (Jakarta: Bulan Bintang, tt). Sedangkan, digunakannya kedua istilah itu, tentu tidak mungkin tidak selain bersumber dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Akibatnya, salah satu dari dua jalan yang awalnya beriringan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pun beralih, yaitu dari jalan diplomasi dan jalan bersenjata berlanjut hanya kepada jalan diplomasi saja. Dan, oleh karenanya, perjuangan diplomasi merupakan jalan perjuangan yang tidak akan pernah mengenal kata berakhir.
Oleh karenanya, menjadi Indonesia bukan sesederhana seperti meletakkan sesuatu di tempat yang sudah ada. Melainkan sebuah proses dan langkah rumit yang tidak mudah.
@matapadi