Ultimatum Kepada Orang Indonesia
November 9, 2020Pertempuran Segitiga dan Menolak Gencatan Senjata
November 12, 2020Pasukan Khusus Belanda yang Pernah Dibentuk di Indonesia
![](https://matapadi.co/wp-content/uploads/2020/11/KST-19-Desember-1948.jpg)
Pasukan KST Belanda setelah mendarat di Pangkalan Udara Maguwo dalam Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948.
Ikhwal pasukan khusus, dibentuk untuk tugas-tugas khusus dengan efektivitas dan efesiensi yang tinggi. Semuanya dibentuk untuk tujuan-tujuan yang khusus pula.
Pembentukan pasukan ini, secara umum, lebih menitikberatkan pada kemampuan pasukan yang lebih spesifik daripada pasukan reguler atau organik. Termasuk dengan pasukan khusus yang dibentuk Belanda dalam upayanya menduduki kembali bekas tanah jajahan yang menjanjikan itu, yang telah berubah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, Republik Indonesia.
Jejak pasukan khusus Belanda di Nusantara – yang kemudian diteruskan oleh Indonesia – barangkali bisa dijejak sejak Perang Belanda di Aceh. Terutama sejak kekalahan mereka yang tak terkira.
Pasukan ini sengaja dibentuk sebagai reaksi atas strategi yang dijalankan Belanda yang gagal selama upaya menundukkan Aceh. Strategi Lini Konsentrasi yang hanya terpusat dalam benteng-benteng pertahanan menjadikan serdadu Belanda dalam keadaan statis, hanya bertahan. Pola ini menjadikan Belanda menjadi pihak yang hanya diserang, sekalipun tujuan mereka adalah untuk ofensif terhadap kekuasaan yang ada di daerah tersebut.
Praktis, dengan keadaan ini para pejuang yang melakukan perlawanan bisa bergerak dengan dinamis, dan dengan leluasa melakukan serangan dadakan. Tanpa bisa dibaca oleh militer Belanda yang bertahan.
Misalnya, sejak tahun 1873 hingga 1880, dalam Perang Belanda di Aceh I dan II; dalam ekspedisi-ekspedisi penaklukan Aceh, pihak pemerintah kolonial Belanda dalam kurun waktu tersebut hanya sanggup menguasai Aceh dalam luas wilayah sebesar 74 Km2.
Artinya, Belanda hanya mampu menguasai Kutaraja (Banda Aceh termasuk keraton) dan Masjid Raya Aceh. Di luar itu, Belanda tak memiliki kuasa apapun. Sehingga kedudukan Belanda di Banda Aceh sejatinya dalam kondisi terkepung pejuang Aceh.
Dalam kondisi ini, serdadu Belanda bagaikan digiring pada satu titik pertempuran saja. Sehingga memudahkan para pejuang Aceh untuk melakukan serangan taktis yang menghasilkan efek yang besar.
Secara umum, sejak abad ke-17, Aceh juga merupakan satu-satunya wilayah di Nusantara yang belum bisa dianeksasi Belanda. Dari sini tampak bahwa, Aceh memiliki kedaulatan dan martabat yang tak mudah ditundukkan. Juga karena Aceh mampu berperan dalam diplomasi internasional.
Selain karena keadaan tersebut, Aceh juga menyimpan kekayaan yang merupakan komoditas penting dalam perdagangan internasional kala itu, salah satunya adalah lada. Berbagai upaya ditempuh Belanda untuk menundukkan Aceh. Terakhir adalah dengan menyerang Aceh secara militer.
Ofensif Belanda terhadap Aceh digelar pertama kali pada 1873. Kegagalan Belanda dalam menundukkan Aceh inilah yang kemudian memunculkan gagasan untuk membentuk sebuah pasukan khusus yang terdiri dari serdadu KNIL pribumi pilihan. Hal ini juga sejalan dengan diubahnya strategi Belanda dalam menundukkan beberapa daerah di Nusantara.
Garis Konsentrasi atau Lini Konsentrasi yang menitikberatkan pada pertahanan statis diubah menjadi pertahanan dinamis, yaitu dengan patroli, pengejaran, hingga penghancuran.
Kemudian terbentuklah Marsose yang merupakan unit khusus dengan menerapkan standar dan kualifikasi khusus dalam perekrutannya. Setelah terbentuk, unit ini memang banyak menorehkan kegemilangan. Namun, dalam perkembanganya kemudian, pemerintah kolonial merasa perlu membentuk unit elite yang diambil dari pasukan khusus Marsose itu.
![](https://matapadi.co/wp-content/uploads/2020/11/Marsose.jpg)
Pasukan Marsose dari Detasemen Tjalang, di Pantai Barat Aceh pada tahun 1929.
Sumber foto: https://nimh-beeldbank.defensie.nl
Unit ini direkrut dari serdadu Marsose dengan kriteria tertentu dan seleksi ketat, salah satunya adalah berani dan kejam. Terbentuklah kemudian unit elite yang dinamakan Kolone Sembilan.
Dalam perkembanganya kemudian, eksistensi pasukan ini banyak menuai kritik dari parlemen Belanda. Mereka dituduh banyak melakukan praktik genosida terhadap rakyat Aceh.
Akibatnya secara perlahan, eksistensi Kolone Sembilan secara berangsur memudar. Fungsi-fungsi yang tadinya dijalankan oleh Kolone Sembilan kembali dijalankan oleh serdadu Marsose reguler. Bekas serdadu Kolone Sembilan juga dikembalikan ke satuan-satuan asal sebagai pasukan Marsose reguler. Demikian hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.
Ketika Jepang menjalankan Operasi Gurita dan mencapai Jawa dan Sumatera, KNIL sebagai pengawal pemerintahan kolonial akhirnya tak mampu berbuat banyak menghadapi agresivitas serdadu Jepang. Dalil bahwa KNIL secara umum tidak didoktrin sebagai pasukan yang siap menghadapi ofensif dari luar, hingga sekarang masih dijadikan sebagai pembenar atas ketidakberdayaan mereka.
Sebagai penjaga kekuasaan kolonial di tanah jajahan, faktanya mereka bersenjata dan berpengalaman dalam berperang, namun berperang dengan rakyat di daerah pendudukan. Sehingga begitu berhadapan dengan kekuatan asing yang datang dari luar, secara drastis mereka tak berdaya, hilang, membiarkan diri ditangkap Jepang atau bahkan melarikan diri. Dari macan – sebagaimana nama Kolone Macan yang tersohor, tiba-tiba tak berdaya.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agusustus 1945, eksistensi Republik Indonesia sebagai sebuah negara masih belum ideal. Banyak ketimpangan di sana-sini, salah satunya adalah soal Angkatan Perang yang berfungsi sebagai penjaga Proklamasi dan mempertahankan eksistensi negara.
Namun soal pembentukan Angkatan Perang, awalnya menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi para pemimpin Republik yang khawatir akan memunculkan persoalan baru seiring kedatangan Sekutu dalam kepentingannya melucuti serdadu Jepang dan mengurus para interniran.
Apa yang dikhawatirkan para pemimpin Indonesia memang segera menemukan pembuktiannya. Sekutu datang dengan pongah dan dada membusung di tengah gelanggang. Dengan kecongkakan khas Barat dan sebagai pemenang perang Perang Dunia II, mereka datang dengan disertai arsenal tempurnya.
Embrio Angkatan Perang; elemen rakyat dan laskar rakyat kemudian mengkoordinir diri. Mantan serdadu kombatan hasil didikan Jepang juga mengorganisir diri. Mereka sepakat untuk bersiap menghadapi Sekutu yang congkak.
Apa yang terjadi di Indonesia, sedikit banyaknya mempengaruhi paradigma pemerintah Belanda di pengasingan. Untuk mengambil kembali tanah jajahan yang begitu menjanjikan itu, dengan pengerahan militer Belanda sendiri, rasanya belum memungkinkan. Belanda belum sepenuhnya pulih dari kehancuran pasca diduduki Jerman, juga karena pemerintahan Kerajaan Belanda maupun pemerintah Hindia Belanda sama-sama berada di pengasingan.
Belanda kemudian bersiasat merayu Sekutu agar terlibat jauh dengan menurunkan kekuatan militernya di Indonesia. Juga agar serah terima antara Sekutu dan Belanda kelak atas Indonesia bisa berjalan mulus.
Akhirnya, apa yang diinginkan Belanda memang terwujud di kemudian hari. Tetapi di saat yang sama, Republik Indonesia juga berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya.
Dengan segala keterbatasaannya, Angkatan Perang Republik terus menghadapi penetrasi militer Belanda yang didahului Sekutu. Demikian ini, Belanda sadar bahwa ternyata tidak mudah menundukkan angkatan perang yang ternyata didukung oleh rakyatnya sendiri.
Militer Belanda menghadapi persoalan yang kompleks. Di sisi lain, secara politik, pemerintah Belanda kemudian dengan agresif memainkan pengaruhnya di kalangan dunia interasional, untuk menekan – kemudian melenyapkan, eksistensi negara dan pemerintahan Republik.
Untuk menghadapi perlawanan yang masif, Belanda kemudian membentuk unit-unit khusus yang ditujukan untuk kepentingan khusus pula. Barangkali mereka juga belajar dari sejarah unit militer mereka di masa lampau, dengan membentuk unit khusus seperti Marsose atau bahkan Kolone Sembilan.
Selama upaya pendudukannya atas Indonesia, setidaknya militer Belanda membentuk beberapa unit-unit khusus. Selain pada masa lampau, tampaknya militer Belanda juga belajar kegemilangan unit-unit pasukan khusus dari kawan-kawan sejawatnya, seperti Inggris dan Amerika.
Berikut unit-unit pasukan khusus Belanda yang dibentuk dalam rangka mendudukkan kembali kekuasan mereka di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1e Parachutisten Compagnie (1e Para Cie)
Merupakan unit pasukan payung. Pasukan ini juga merupakan unit pasukan khusus pertama Belanda di Indonesia. Ide pendirian divisi pasukan penerjun ini pertama kali dilontarkan oleh Letnan P.E Van Beek pada akhir tahun 1945, yang didukung oleh dua orang rekannya, yaitu Letnan C. Sisselaar dan Letnan. N.J de Koning.
Ide ini kemudian disetujui oleh Panglima Tentara Belanda di Indonesia, Letnan Jenderal S.H Spoor, dan pada tanggal 1 Maret 1946, disahkan dengan pembentukan School voor Opleiding van Parachutisten atau disingkat SOP.
Sekolah penerjun (SOP) yang pada awalnya berdiri di Jakarta ini berada di bawah komando Letnan Satu C. Sisselaar (selanjutnya dinaikan pangkatnya menjadi kapten) pada Juni 1946. Kemudian untuk pelatihan dan pembentukan unit operasionalnya dipindahkan ke Hollandia (sekarang Jayapura) di New Guinea (Papua).
Pada tanggal 1 Mei 1947, atas perintah Letnan Jenderal Spoor, berdirilah 1e Parachutisten Compagnie (1e Para Cie), dan Kapten Sisselaar (setelah pangkatnya dinaikkan) sebagai komandan pasukan tersebut.
Secara proporsional anggota pasukan 1e Para Cie didominasi oleh serdadu-serdadu dari Eropa, meskipun terdapat juga serdadu pribumi dari Suku Ambon yang menonjol di antara pasukan terjun payung tersebut.
![](https://matapadi.co/wp-content/uploads/2020/11/Para-Cie.jpg)
Pasukan 1e Para Cie dalam operasi pembersihan yang dijalankan militer Belanda di Tasikmalaya pada 17 Mei 1948. Sumber foto: https://www.pinterest.ca/pin/340092209355067221/
Depot Speciale Trepen (DST)
Unit DST dibentuk atas saran dan masukan dari Kapten W.J Schepens. Sumber inspirasinya adalah Korps Insulinde (KI) di mana dia pernah berada di korps itu saat Perang Dunia II terjadi.
Atas persetujuan Panglima KNIL, pada bulan Juni 1946 pasukan ini dibentuk di Jakarta, di mana anggota awalnya diambil dari para sukarelawan (OVW’ers). dan Kapten W.J Schepens sebagai komandannya.
Pada saat Kapten W.J. Schepens terluka parah dalam sebuah pertempuran, kepemimpinan DST digantikan oleh Kolonel Engeles. Setelahnya kepemimpinan DST diteruskan oleh Letnan Westerling yang kemudian dinaikan pangkatnya menjadi kapten. Westerling pada saat pengangkatan sebagai komandan DST baru berusia 26 tahun.
Sementara Kapten W.J Schepens, setelah sembuh ditugaskan di Divisi B – Jawa Tengah. Pada bulan Januari 1948, DST dibubarkan dan sebagai penggantinya dibentuk unit pasukan khusus baru yang diberi nama Korps Speciale Troepen (KST).
![](https://matapadi.co/wp-content/uploads/2020/11/Westerling.jpg)
Westerling dalam upacara serah terima komandan KST kepada Letnan Kolonel van Beek.
Sumber foto: https://nimh-beeldbank.defensie.nl
Dalam sepak terjangnya, DST pimpinan Westerling dikenal sebagai pelaku pembantaian di Sulawesi. Baik DST maupun Westerling keduanya sama-sama melambung namanya pasca praktik genosida di Sulawesi Selatan itu.
Korps Speciale Troepen (KST)
Unit pasukan khusus ini di bawah komando Kapten Westerling ini diharapkan mempunyai kemampuan yang lebih sebagai pasukan terlatih dari pendahulunya yaitu Depot Speciale Troepen (DST).
Pada akhir kuartal pertama unit ini mendidik sekitar 1.250 prajurit yang terdiri dari Relawan Perang Belanda (OVW’ers), prajurit Indo-Eropa dan pribumi, termasuk Maluku. Pada bulan Juli 1948 Panglima KNIL memutuskan untuk menggabungkan dua unit khusus yaitu SOP dan KST menjadi satu.
![](https://matapadi.co/wp-content/uploads/2020/11/KST.jpg)
Pasukan KST dengan pakaian khusus untuk terjun payung.
Sumber foto: https://nimh-beeldbank.defensie.nl
Penggabungan ini bertujuan untuk membentuk semacam brigade mobil udara yang dapat beraksi di mana saja di kepulauan atau di mana pun jika diperlukan. Kiprah mereka terkenal dalam aksi penyerbuan ke Yogyakarta dalam Operatie Kraai, atau Agresi Militer Belanda II. Mereka merupakan pasukan pembuka setelah angkatan udara Belanda berhasil membombardier pangkalan Maguwo.
Tidak berusia lama Korps Speciale Troepen ini menjelang serah terima kedaulatan dengan RIS berubah namanya menjadi Regiment Speciale Troepen (RST) dengan komandannya bernama Letnan Kolonel J.J.F Borghouts.
@matapadi @wawan_k_joehanda
** Artikel ini dipersembahkan untuk mengenang saudara Wawan K Joehanda yang telah berpulang.