Aceh, Yang Sangat Melelahkan Belanda
March 4, 2021Periodesasi Kesultanan Palembang(?)
March 15, 2021Bedil dan Kemajuan Teknologi Kesenjataan Nusantara
Dari sisi etimologi, Donderbus merupakan gabungan dari kata donder yang bermakna halilintar dan bus yang berarti pipa. Dalam versi bahasa Indonesia, jenis senapan ini adalah senapan pemuras. Yaitu senapan dengan laras pendek berkaliber besar yang mengembang di bagian ujung moncong larasnya. Senapan ini diisi dengan peluru bola timah. Pemuras merupakan bentuk awal senapan yang digunakan oleh tentara.
Jenis senjata ini umumnya antara peluru atau pelor terpisah dengan bubuk mesiu sebagai tenaga penggerak atau pelontarnya. Bubuk mesiu dan pelor tidak dalam satu unit sebagaimana peluru yang dikenal seperti sekarang.
Di Nusantara, teknologi persenjataan menggunakan bubuk mesiu barangkali bisa dilacak pada zaman Majapahit, sejak serangan bangsa Mongol ke Jawa (1293 M) yang mengakibatkan pengembangan meriam putar kecil seperti Cetbang dan Lantaka. Sedangkan meriam galah atau bedil tombak tercatat digunakan di Jawa pada tahun 1413.
Suatu catatan tentang penggunaan senjata api pada pertempuran melawan pasukan Giri pada sekitar tahun 1500-1506 tertulis dalam Serat Darmagandhul, yang berbunyi:
“… wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis …” [… pasukan Majapahit menembaki, bedil=senjata api, sementara pasukan Giri berguguran karena mereka tidak kuat dihujani peluru (mimis)…].
Dalam catatan Tome Pires (The Suma Oriental: 1944) disebutkan bahwa, pada tahun 1513, pasukan tentara Gusti Pati, wakil raja Batara Brawijaya, berjumlah 200.000 orang, di mana 2.000 di antaranya adalah prajurit berkuda dan 4.000 orang lainnya adalah Musketir. Musketir dalam pengertian ini adalah tentara bersenapan “musket”. Namun Musket di sini adalah pengertian yang lazim untuk memberikan nama pada jenis senjata api. Bukan dalam pengertian senapan Musket seperti di Eropa.
Kemudian Duarte Barbosa (1866) dalam karyanya yang bertajuk A Description of the Coasts of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century menyebutkan bahwa, pada sekitar tahun 1514, penduduk Jawa sangat ahli dalam membuat artileri dan merupakan penembak artileri yang baik.
Dalam upaya Portugis ke belahan Nusantara, mereka bahkan menemukan berbagai senjata serbuk mesiu setelah penaklukan Malaka pada tahun 1511. Sebagaimana dalam karya Afonso de Albuquerque (1875): The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, yang menyebutkan bahwa senapan Matchlock banyak disebutkan dalam buku tersebut.
Dalam buku itu juga diceritakan bahwa orang-orang Melayu di sekitar Selat Malaka mendapatkan senjata dari Jawa. Dalam agresi pertama Portugis ke Malaka saja mereka menceritakan bahwa orang-orang Portugis yang mendekat akan ditembak oleh orang-orang Muslim di Malaka.
“Dua jam sebelum fajar, Afonso Dalboquerque memerintahkan terompet ditiup, untuk membangunkan mereka, dan mereka segera berangkat dengan semua orang-orang bersenjata dan naik ke atas kapalnya, dan ketika sebuah pengakuan umum telah telah dibuat, semua berangkat bersama-sama dan datang ke mulut sungai tepat saat pagi hari, dan menyerang jembatan, masing-masing batalion dalam urutan yang telah ditugaskan untuk itu. Kemudian orang-orang Moor (Muslim) mulai menembaki mereka dengan artileri mereka, yang dipasang di kubu-kubu, dan dengan senapan matchlock besar mereka melukai beberapa orang kami.”
Di Nusantara, terutama di Jawa dan Bali senjata api laras panjang umumnya dikenal dengan istilah bedil, seperti dalam kutipan Serat Darmagandhul di atas: ambedili. Bedil secara etimologi berasal dari kata wedil (atau wediyal) dan wediluppu (atau wediyuppu) dari bahasa Tamil. Dalam bentuk aslinya, kata-kata ini secara berurut merujuk pada ledakan mesiu dan niter (kalium nitrat).
Tapi setelah terserap dalam bahasa Melayu menjadi bedil, dan di sejumlah budaya lain di Kepulauan Nusantara, kosakata Tamil itu digunakan untuk merujuk pada semua jenis senjata yang menggunakan bubuk mesiu.
Penggunaan senjata api sejatinya sudah menjadi kelaziman setiap unit pasukan yang ada di kerajaan-kerajaan di Nusantara. Meski jumlah penggunaannya tidak semasif seperti serdadu Eropa umumnya, namun banyak yang telah menggunakanya. Keberadaannya bukanlah barang baru. Melainkan sesuatu yang lumrah dan biasa.
Dalam karyanya, Asian Trade and European Influence: in the Indonesian Archipelago Between 1500 and About 1630, Meilink Roelofz (1962), bermaksud mengetahui: manakah yang paling dominan antara orang-orang Indonesia (Nusantara), Portugis atau Belanda. Hingga ia pada satu simpulan bahwa pertemuan antara Eropa dan Indonesia adalah pertemuan peradaban yang setara, bukan antara Eropa yang lebih maju dan Indonesia yang terbelakang.
Sebagaimana yang berlaku umum, propaganda bangsa-bangsa Barat terhadap orang-orang Kepulauan Hindia Timur atau Nusantara sebagai bangsa yang bodoh, tak beradab, bangsa irasional, bangsa yang terbelakang, bangsa yang hanya paham kesaktian, mistisme, atas keris, atas rencong, tombak, sumpit beracun, panah dan berbagai senjata lainnya, yang dianggap jauh dari pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Dalil yang mengatakan bahwa, bangsa penjajah (Barat, terutama Belanda) adalah bangsa pencerah, yang membawa orang-orang di belahan lain (the other) dari kegelapan menuju terangnya cahaya peradaban, di dalamnya termasuk teknologi dan ilmu pengetahuan, menjadi tak berlaku.
Sehingga, jika dalam banyak manuskrip, babad, serat, hikayat, cerita rakyat, atau karya sastra yang lain banyak disebutkan tentang majunya pengembangan teknologi kesenjataan, maka itu adalah benar adanya. Sehingga akan sangat logis ketika banyak prajurit di belahan Nusantara lain yang berperang melawan kepongahan Belanda atau bangsa kolonial lain adalah soal pertarungan strategi, kemampuan individu, dan juga teknologi. Bukan pula semata karena kesaktian, olah batin, karena tuah dari senjata-senjata, karena ilmu batin, atau keampuhan doa-doa dari para resi.
Orang-orang di Nusantara memiliki pengetahuan kesenjataan yang mumpuni, dalam beberapa hal bahkan di atas kemampuan orang-orang Barat saat itu.
@matapadi
Rujukan:
- Pires, Tome (2014), Suma Oriental, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
- de Graaf, Hermanus Johannes (1985). Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Temprint.
- Barbosa, Duarte (1866). A Description of the Coasts of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century. The Hakluyt Society.
- Widyatmoko, Bayu. (2014). Kronik Nusantara: Liga Raja-Raja Hingga Kolonial, Yogyakarta: Matapadi Pressindo.
- Artikel Kitab Ilmu Bedil Melayu, Aswandi Syahri, dalam laman daring https://jantungmelayu.com/2018/08/kitab-ilmu-bedil-melayu/ diakases 8 Maret 2021.
- Albuquerque, Afonso de (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774. London: The Hakluyt Society.