Ketika sejarah tak pernah bisa ditafsirkan tunggal, sebuah papan informasi di kompleks pekuburan seorang pahlawan selalu menyediakan kemungkinan untuk digugat oleh para zuriah. Papan informasi bisa meleset, dan itulah kenapa mungkin sejarah memang harus terus digali.
Papan informasi di makam Mahmud Badaruddin II menyebutkan Sang Sultan memimpin Palembang Darussalam dalam dua periode: 1803-1813 dan 1818-1821.
“Dalam masa pemerintahannya, sultan yang bernama asli Raden Hasan Pangeran Ratu ini beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda.”
“Salah satunya adalah Perang Menteng yang pecah pada 12 Juli 1818 yang dimenangkan pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II. Namun kemudian Sultan Mahmud Badaruddin II kalah dari Belanda dalam perang di Sungai Musi pada 11 Juni 1821, dan pada 25 Juni 1821, Palembang jatuh ke tangan Belanda.”
“Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan dijebloskan di penjara Batavia pada 13 Juli 1821. Tidak lama kemudian, Sultan dan keluarga diasingkan di Ternate. Sultan wafat di Ternate pada 25 November 1852. Nama sultan ini diabadikan menjadi nama bandara internasional Palembang. Wajahnya diabadikan di kertas lembar Rp 10 ribu pada 2005.”
Papan informasi yang sama juga menyebutkan Raden Hasan adalah putra Sultan Mahmud Bahauddin yang lahir di Palembang pada 1 Rajab 1181 Hijriah atau 1767 Masehi. Dia diangkat menjadi Sultan Palembang pada 4 April 1803, dimakzulkan dan diasingkan ke Ternate pada Juli 1821. Wafat di Ternate pada 14 Syafar 1269 Hijriah atau 26 November 1852, dan ditetapkan sebagai Pahlwan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 963/TK/1984, tanggal 29 Oktober 1984.
“Kalau kita lihat papan profil, di situ tercantum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan salah seorang sultan yang diasingkan ke Ternate yang memimpin Kesultanan Palembang Darussalam selama dua periode. Masa sultan ada periodisasi? Logikanya tidak masuk,” kata Rachmat, salah seorang zuriah Kesultanan Palembang Darussalam.
Periodisasi ini sama halnya pemerintah Indonesia mengakui sultan yang diangkat pemerintah kolonial untuk mengkudeta Sultan Mahmud Badaruddin II.
“Intinya beliau kan diangkat pada 1803 dan beliau berperang melawan Belanda. Kemudian pada 14 November 1811, Mahmud Badaruddin II menang. Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Inggris terjadi pada 18 November 1811. Beliau melawan Inggris dan kalah, lalu mundur ke Muara Rawas dan bergerilya,” kata Rachmat.
“Selama beliau bergerilya, Inggris mengangkat adiknya, Raden Husin Diaudin, menjadi sultan dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Adipati. Tapi Inggris kemudian meminta Mahmud Badaruddin II berkuasa lagi pada 1813 karena gerilyanya mengganggu jalur perdagangan negara itu di Palembang.”
Merasa terbuang, Raden Husin mengirimkan utusan ke Batavia untuk memprotes pengangkatan tersebut. Protes itu dikabulkan. Pasukan dari Batavia datang ke Palembang dan mendudukkan kembali Raden Husin menjadi sultan.
“Tapi sultan tetap sultan, walau Mahmud Badaruddin II bergerilya di mana pun, dia tetap sultan. Silakan saja seandainya ada sultan diangkat oleh Inggris. Tapi itu sultan Inggris, dan tak bisa pada periode 1813-1818 disebut memerintah dan disebut Sultan Palembang. Jadi kita harus pisahkan mana Sultan Palembang sesungguhnya dan sultan kolonial. Raden Husin atau Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Adipati adalah sultan kolonial,” Rachmat memberikan tekanan pada kata ‘sultan kolonial’.
Zuriah juga menolak informasi yang menyebutkan bahwa Mahmud Badaruddin memimpin hingga 1821 sebelum akhirnya diasingkan. Prosesi pengangkatan sultan baru sejati Palembang Darussalam dilakukan pada 1819. Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu dinobatkan menjadi sultan, dan Mahmud Badaruddin berganti gelar menjadi susuhunan.
“Pengangkatan dilakukan setelah menang atas Belanda pada 1819. Beliau mengumpulkan semua menteri dan hulubalang, lalu mengangkat anak tertua dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin. Tambahan Pangeran Ratu di belakang gelar itu adalah untuk membedakan dengan Sultan Ahmad Najamuddin yang diangkat Belanda. Jadi logikanya, Mahmud Badaruddin II ini berkuasa pada 1803-1919,” kata Rachmat.
Rachmat pernah naik darah, gara-gara seorang peneliti bersikukuh menyebut Mahmud Badaruddin II sebagai sultan dan bukan susuhunan. Bagi Rachmat, ini persoalan prinsip dalam meluruskan sejarah mengenai sultan yang diasingkan ke Ternate itu.
Sang peneliti adalah seorang doktor sejarah. Dia datang ke Ternate menemui Rachmat dan meminta agar dibantu untuk meneliti kisah hidup Mahmud Badaruddin II di Maluku Utara. Berkali-kali, sang peneliti menyebut Mahmud Badaruddin II sebagai sultan terakhir. Alasannya sederhana saja: setelah Mahmud Badaruddin II kalah dalam peperangan dan diasingkan, Belanda berturut-turut mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Pangeran Kramo Jayo ke tahta kesultanan.
Namun dua sultan ini tak cukup memiliki legitimasi rakyat, karena memiliki pertautan dengan Belanda meski pada akhirnya juga melawan. Apalagi keduanya bukan anak Mahmud Badaruddin II. Dalam tradisi kesultanan, hanya anak sultan yang berhak menjadi sultan. Sultan terakhir yang diakui rakyat, menurut versi si peneliti, adalah Mahmud Badaruddin II.
Rachmat jengkel sekali. Berulang kali ia menjelaskan, sebelum diasingkan, Mahmud Badaruddin II mengangkat anaknya menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu. Dalam tradisi kesultanan Palembang Darussalam, seorang sultan yang turun tahta akan bergelar susuhunan.
Namun si peneliti keras kepala. “Kalau dia laki-laki, sudah saya bentak. Untung dia perempuan,” kata Rachmat kepada salah satu staf peneliti itu.
“Saya mau perbaiki sejarah. Kenapa orang mengira Sultan Mahmud Badaruddin II adalah sultan terakhir? Ketika muncul gelar susuhunan, berarti pasti ada sultan baru.”
Perdebatan ini berakhir di Bacan. Mereka menemukan dokumen berbahasa Belanda yang menyebutkan bahwa Mahmud Badaruddin II bergelar susuhunan, bukan lagi sultan. “Nah itu. Susuhunan, bukan sultan,” kata Rachmat. Ia merasa peneliti itu tak memahami perbedaan susuhunan dan sultan.
Zuriah sudah berupaya mengoreksi informasi di papan tersebut. Bersama Santi, Rachmat menemui petugas di Balai Pelestarian Cagar Budaya Maluku Utara. “Kami sampaikan ini. Tapi mereka belum ganti. Mereka tetap berpatokan pada yang ditulis versi pemerintah. Kami sebagai turunan tidak terima,” kata Rachmat.
“Kami sudah sampaikan soal itu bahwa tak ada dua periode. Mereka menjawab: nanti kami teliti lagi. Padahal, dalam sejarah, mana ada periodisasi kesultanan. Jadi sebenarnya lembaga yang punya otoritas buat papan ini harus berpikir logis juga untuk ambil referensi. Jangan serta-merta dapat referensi dan dia ikuti itu.”
Gagal menembus pemerintah, zuriah meluruskan sejarah dengan memberikan penjelasan kepada para peneliti yang mendatangi makam. “Siapapun yang datang bersama kami, kami sampaikan bahwa tak ada periodisasi. Yang ada adalah sultan Kesultanan Palembang Darussalam dan sultan yang diangkat Inggris.” []
Ditulis Oleh: Oryza A. Wirawan
NB: Artikel ini kami ambil dari salah satu bagian dalam buku Sultan Mahmud Badaruddin II: Perlawanan, Pengasingan, dan Zuriah (Matapadi Pressindo, 2020).