Periodesasi Kesultanan Palembang(?)
March 15, 2021Riset dan Pengembangan Sebagai Deterrence Effect
April 10, 2021Dirgahayu Swa Bhuwana Paksa
Yogyakarta, dengan keberadaan Pangkalan Udara Maguwo, memiliki nilai yang sangat strategis terutama pasca Persetujuan Renville, di mana wilayah Republik Indonesia semakin menyempit. Keberanian yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX beserta segenap rakyat Yogya kepada Bangsa dan Republik Indonesia, merupakan wujud riil patriotisme bagi terus tegaknya kemerdekaan yang telah diproklamasikan.
Melalui Maguwo, Yogyakarta memainkan peran kunci sebagai jendela perhubungan yang terus terbuka di tengah kepungan blokade Belanda. Melalui Yogyakarta berbagai hubungan dagang dan diplomatik dengan negara-negara lain dapat terus berjalan, termasuk perjuangan para diplomat Republik di forum PBB.
Lahirnya kekuatan dirgantara di Indonesia (TNI-AU) juga tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Yogyakarta yang berperan sebagai daerah penopang utama kelangsungan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Setelah dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan berpindahnya Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta di awal Januari 1946, Pangkalan Udara Maguwo pun menjadi saksi sekaligus garba bagi lahirnya para ksatria penjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, sejak beberapa bulan sebelum berpindahnya Ibukota Republik ke Yogyakarta, Pangkalan Udara Maguwo sudah aktif dalam membangun kekuatannya.
Ketika perang mempertahankan kemerdekaan masih berkecamuk, dan dengan segala keterbatasan, sekolah penerbang segera didirikan di area Pangkalan Udara Maguwo. Pesawat- pesawat eks Jepang diperbaiki dan mulai digunakan untuk melatih para calon penerbang Angkatan Udara. Dari sini, kecambah kekuatan dirgantara Republik Indonesia selanjutnya tumbuh dan berkembang.
Dari Pangkalan Udara Maguwo, pada 27 Oktober 1945, Adisutjipto berhasil menerbangkan sebuah pesawat Cureng yang bertandakan Merah Putih. Peristiwa tersebut merupakan yang pertama kalinya seorang penerbang Bangsa Indonesia mengudara dengan tanda Merah Putih. Kemudian, pada bulan Desember 1945, mulai dirintis pendidikan calon-calon penerbang secara darurat di Pangkalan Udara Maguwo yang dipimpin oleh Adisutjipto. Dengan dibukanya Sekolah Penerbangan di Maguwo, maka diadakan penggabungan dengan pendidikan penerbangan di Pangkalan Udara Bugis, Malang, yang bersifat kursus kilat. Selanjutnya, latihan terbang formasi dan lintas daerah pun mulai dilakukan di Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Madiun dan Malang, yang dilakukan pada 15 April 1946 dengan menggunakan pesawat-pesawat Cureng. Selain itu, pada 23 April 1946, dilaksanakan pula misi penerbangan yang membawa rombongan terdiri dari KSAU Komodor Udara S. Suryadarma dan Jenderal Mayor Sudibyo dengan menggunakan tiga pesawat Cukiu dari Maguwo ke Kemayoran guna mengadakan perundingan dengan Sekutu.
Beranjak dari aktifitas kedirgantaraan yang telah dimulai dan terus dimatangkan di Yogyakarta, latihan-latihan penerbangan kemudian tidak hanya dilakukan di Pulau Jawa. Pada 23 Juli 1946, diterbangkan dua buah pesawat Cureng, masing-masing oleh Opsir Udara II Husein Sastranegara dan Kadet Udara Wim Prajitno dengan rute Maguwo – Gorda ( Banten) – Karang Endah (Sumatera Selatan) – Maguwo. Peristiwa penerbangan cross country yang pertama kali itu lalu disusul dengan terbang formasi dalam jumlah yang lebih besar.
Untuk menanamkan dan menebar rasa cinta udara di masyarakat, TNI AU kemudian menyelanggarakan pula pameran penerbangan pertama kalinya di Yogyakarta, yang sekaligus mengisi peringatan ulang tahun pertama atas kemerdekaan Indonesia. Acara serupa juga diadakan di kota Solo, Madiun dan Tasikmalaya.
Kegiatan pembuatan pesawat model (aeromodeling) dan pesawat layang (jenis Zogling) juga telah dimulai pada tahun 1946 di lapangan Sekip Yogyakarta oleh prakarsa TNI AU. Seorang peminat wanita, Ny Corrie, tercatat sebagai perempuan pertama yang berhasil mengemudikan pesawat luncur hasil bikinan OMO Nurtainio Pringgoadisurjo. Jenis pesawat ini kemudian disebarkan ke kota lain seperti Solo, Madiun dan Malang.
Selain itu, kursus-kursus mengenai bentuk pesawat, aerodinamika dan sebagainya, diberikan pula di pusat-pusat latihan kemiliteran matra darat di Yogyakarta, Solo dan Madiun. Sejak penerbangan pertama berhasil dilakukan oleh Adisutjipto, maka operasi-operasi udara militer juga turut digiatkan pada tahun 1946.
Pasca Agresi Militer Belanda Pertama, Juli 1947, suatu kejutan psikologis dibuat untuk meyakinkan dunia bahwa Republik Indonesia tetap tegak beserta segenap kekuatannya. Sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, diadakan serangan udara sekaligus dan bersamaan ke kota pendudukan Belanda; Ambarawa, Salatiga dan Semarang.
Dua buah pesawat latih Cureng berhasil menyerang kedudukan musuh di Ambarawa dan Salatiga. Masing-masing membawa dua bom yang diikat di bawah kiri kanan sayap. Sasaran militer yang dituju dapat diserang di Ambarawa sedangkan yang di Salatiga berjalan kurang maksimal. Sebuah pesawat lain adalah jenis pembom penyelundup Cukiu yang secara bersamaan juga melakukan serangan ke Semarang.
Serangan dilancarkan pagi-pagi sehingga Belanda yang sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan udara menerimanya tanpa persiapan sama sekali. Walaupun Belanda sempat menaikan pesawat buru Kittyhawk namun penerbang- penerbang Republik tidak terkejar. Ketiga pesawat penyerang milik Republik sudah keburu mendarat dengan selamat dan segera ditutupi dalam tempat persembunyian di Pangkalan Udara Maguwo.
Memasuki tahun 1948, dengan lama pembuatan sekitar lima bulan, WEL-1 berhasil diselesaikan di salah satu hanggar di Maospati. WEL-1 merupakan singkatan dari “Wiweko Experimental Lightplane -1”. Setelah mulus melalui uji terbang, oleh AURI, WEL-1 diberi registrasi RI-X dan melakukan penerbangan dari Maospati ke Maguwo dalam rangka mengisi acara pameran penerbangan di Yogyakarta. Penerbangan RI-X di Yogyakarta seketika itu juga turut membangkitkan spirit kedirgantaraan, karena berhasil menunjukkan bahwa insan Republik selain telah mampu terbang kini juga sudah merintis pembuatan pesawatnya sendiri.
Pekan Penerbangan di pertengahan tahun 1948 tersebut, selain disaksikan Presiden, Wakil Presiden, Panglima Besar TNI, juga dihadiri oleh delegasi UNCI (United Nations Commission for Indonesia). Acara ini menampilkan demonstrasi terbang formasi, aerobatik, terjun payung dan terbang keliling. Waktu itu, Yogyakarta menjadi kota yang berhasil menerbangkan Merah Putih menaiki ketinggian di hadapan utusan-utusan dari dunia luar.
Aktifitas-aktifitas kedirgantaraan yang dimulai di Yogyakarta tersebut berhasil menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia bukanlah bangsa baru yang kecerdasan dan keberaniannya terbelakang. Dapat disaksikan oleh semua mata kepala yang hadir waktu itu, Bangsa Indonesia ternyata sudah mampu membina sayap dan terbang menggunakan nyalinya sendiri. Dan, di waktu itu Yogyakarta selain sebagai ibukota Republik, juga telah menuangkan kiprahnya sebagai kota dirgantara.[]
Referensi:
- Dinas Sejarah TNI Angkatan Udara, 1977., Catur Windu TNI AU 1945-1977.
- Wawan K. Joehanda, 2020., Palagan Maguwo: Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949), Yogyakarta: Matapadi Pressindo.