Mengelabuhi Jepang, Pembentukan Giyugun di Minangkabau
May 25, 2021Dari Surau Perlawanan Itu Dimulai
June 23, 2021Teungku Fakinah dalam Sunyi Sejarah
Dalam peperangan, perempuan lebih tangguh ketimbang pria! Mendengar pernyataan itu, laki-laki tak perlu kebakaran jenggot. Kalau dagu masih mulus tanpa jenggot, janganlah sinis. Mari kita simak pernyataan H.C. Zentgraaff (1983) dengan kepala dingin:
“…perannya di dalam peperangan sampai sekarang pun sukar untuk dinilai dan biasanya aktif sekali. Wanita Aceh, gagah berani, adalah penjelmaan dendam kesumat terhadap kita yang tiada taranya serta tak mengenal damai. Jika ia turut bertempur, maka tugas itu dilaksanakannya dengan suatu energi yang tak kenal maut dan biasanya mengalahkan prianya. Ia adalah pengemban dendam yang membara, yang sampai-sampai di liang kubur atau di hadapan maut pun masih berani meludah ke muka ‘si kaphe’…”
Kepala masih dingin, bukan? Hanya biasanya mengalahkan prianya. Namun, “hanya biasanya” ini maknanya bisa saja “lebih sering berkali-kali”. Zentgraaff menyebut perempuan Aceh secara khusus. Jumlah pejuang perempuan asal Aceh memang tak terhitung dengan jari. Tak sedikit dari mereka memimpin perang.
Dari deretan pemimpin perang adalah seorang perempuan manis yang suka mengajar murid-muridnya mengaji. Ia selalu tersenyum menawan dan membuat anak-anak menaruh hati. Di dayah Lam Pucok itu diajarinya juga murid laki-laki. Terkhusus murid perempuan dilatih pula keterampilan jemari. Kaum lelaki janganlah sekali-kali tergoda hati. Perempuan bernama Teungku Fakinah di dayah itu telah bersuami.
Namun, pernikahannya dengan Teungku Ahmad Aneuk Glee diporak-porandakan Belanda. Perjanjian Traktat Sumatera (1871) merusak kisah asmara mereka yang menikah pada 1872. Traktat London (1824) agar Belanda menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh hanya termakan rayap. Inggris dan Belanda tak mengerti jika dua sejoli itu telah memimpikan seorang anak. Belanda pun melayangkan ultimatum perang terhadap Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873.
Aceh memang tak lengah. Pasukan-pasukan disiapkan begitu gagah. Di Pantai Cermin, tepi Laut Ulee Lheu, Teungku Ahmad dalam pasukan pimpinan Panglima Polem Nyak Banta dan Rama Setia tak rela Belanda bertingkah polah. Namun, 8 April 1873, nasib Teungku Ahmad selama-lamanya takkan lagi menatap wajah cantik Fakinah.
Musnahlah impian Fakinah mempunyai buah hati. Suaminya telah gugur di medan perang. Namun, perempuan kelahiran Desa Lam Diran, Kampung Lam Beunot atau disebut Lam Krak, pada 1856, itu tak kehilangan semangat. Fakinah telah memahami dunia perang dari tempaan pendidikan militer dan ilmu yang diajarkan ayahnya.
Fakinah usianya lebih muda sekitar enam tahun dari Cut Nyak Dien (1850-1908). Ia lebih tua dari Cut Meutia (1870-1910). Fakinah berselisih sekitar 23 tahun dengan Kartini (1879-1904). Kalau Kartini berayah seorang bupati Jepara, Fakinah berayah seorang mantan pejabat pemerintah. Datu Mahmud atau dikenal dengan nama Teungku Asahan, sang ayah, pernah sebagai pejabat kerajaan di zaman Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah (memerintah 1823-1836).
Dari silsilah, Fakinah juga keturunan ulama. Ibunya, Cut Fathimah, adalah anak Teungku Muhammad Sa’ad. Ulama ini mendirikan Dayah Lam Pucok, sehingga kerap disebut Teungku Chik Lam Pucok. Kalau data ini benar, maka dayah tempat Fakinah mengajar mengaji itu termasuk tua usianya.
Keterangan tersebut setidaknya menjelaskan daya pikat Fakinah di tengah masyarakat. Setelah suaminya syahid di medan perang, ia melakukan kampanye perang. Pertama, menggalang perempuan-perempuan janda maupun bukan janda untuk bersama-sama mengumpulkan logistik perang. Logistik perang ini bisa berupa uang, benda-benda berharga, bahkan padi.
Kedua, ia membentuk sebuah pasukan alias Sukey. Dalam ukuran saat ini, pasukan yang dipimpinnya seperti sebuah resimen. Seperti di dayah tempatnya mengajar, resimen Sukey juga terdiri laki-laki dan perempuan. Ada empat “balang” dalam resimen ini. Tahu apa itu “balang”? Fakinah sebagai panglima empat “balang” alias batalion. Hitung saja jumlah pasukannya. Satu batalion setidaknya terdiri dari 300 sampai 1.000 pejuang.
Dalam buku Peranan Wanita Indonesia di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1986: 14-16) diterangkan bahwa dari empat batalion itu ada satu batalion berisi perempuan semua dan ditempatkan di Cot Weu. Cot Weu termasuk “kuta” alias benteng yang sekaligus dijadikan markas besar Sukey. Belanda tentu tak habis pikir sebuah markas tentara dengan ratusan perempuan menenteng senjata. Sedangkan tiga batalion lainnya ditempatkan di Lamsayun, Cot Bakgarot, dan Bakbale.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa Fakinah berkarib dengan Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien malu setengah mati ketika suaminya Teuku Umar “membelot” ke Belanda. “Tatkala itulah Belanda memberinya gelar Teuku Umar Johan Pahlawan Panglima Besar Hindia Nederland,” tulis Mohammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad Jilid Kedua (1981: 195). Betapa Fakinah tak segan menyindir-nyindir Cut Nyak Dien.
Dalam buku Cut Nyak Din (1996: 54), Muchtaruddin Ibrahim menuliskan cerita menarik:
“Dalam suatu kesempatan yang baik Teungku Fakinah menyuruh 2 orang utusan untuk menyampaikan maksudnya kepada Cut Nyak Din di Lampisang. Pesan Teungku Fakinah supaya Teuku Umar, suami Cut Nyak Din, datang dengan pasukan lengkap ke Lamdiran untuk menyerang Benteng Inong Bale (Benteng Janda). Kami telah siap menanti. Dengan demikian Teuku Umar akan mendapat julukan panglima tertinggi dari atasannya di Kutaraja. Ia telah berjasa, karena telah dapat menghancurkan sebuah benteng pertahanan wanita janda. Cut Nyak Din merasa terpukul menerima pesan yang bernada sinis dari Teungku Fakinah itu.”
Mari kita lupakan sindiran Fakinah. Sebagaimana kebiasaan di Aceh, perempuan yang suaminya meninggal tak dibiarkan berlarut-larut kesepian. Apalagi Fakinah yang janda dalam usia 17 tahun. Tak lama setelah suami pertamanya syahid, ia dinikahkan dengan Teungku Nyak Badai, seorang komandan bawahannya. K.H. Husein Muhammad dalam buku Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah (2020: 154) menerangkan bahwa pernikahan ini dilakukan untuk menghindari fitnah, sebab Fakinah merupakan satu-satunya panglima perang perempuan dan kerap bermusyawarah dengan laki-laki.
Bersama Nyak Badai, Fakinah berbulan madu di medan perang. Sampai kemudian suami keduanya ini juga syahid. Kendati kedua suaminya gugur di medan perang, Fakinah merasa untung tak mendapatkan suami misterius seperti Teuku Umar. Kalau nasib tak mujur bisa-bisa Cut Nyak Dien gantian membalas sindiran. Suami ketiga Fakinah adalah Teungku Haji Ibrahim yang kelak meninggal di Mekah.
Kalau kita hitung dengan kalkulator, peperangan melawan Belanda yang dipimpin Fakinah terbilang lama. Lebih lama ketimbang Cut Nyak Dien memimpin gerilya. Fakinah bersama pasukannya bertahan habis-habisan membendung serangan Belanda. Belanda pun dibuat berkeringat dingin sampai harus mengerahkan pasukan super besar untuk menggempur Lam Krak sekitar Juni 1896. Muka sejarawan Belanda pun malu menuliskan Kernal J.W. Stempoort yang mati kutu melawan panglima perang perempuan.
Perlawanan Fakinah adalah perlawanan yang mengguncang dunia. Tentara Belanda dibuat kewalahan dengan gagah beraninya pasukan Sukey pimpinan Fakinah lewat aksi patriotik “serang mundur”-nya. Sekitar Agustus 1896, mereka mundur ke Cot Ukam. Dari benteng pertahanan ini mundur lagi ke Gleeyeung, lantas mundur ke Indrapuri. Fakinah tak pernah kendur melakukan perlawanan. Dari Indrapuri, Fakinah dan pasukannya membuat garis pertahanan berturut-turut di Lamsi, Seulimeum, dan Lam Tamot. Sempat hijrah ke Pidie, mereka mundur dan membuat garis pertahanan di Tangse.
Tak sedikit tentara Belanda yang bersimbah darah dan rebah mencium tanah. Belanda pun semakin dibuat depresi ketika Fakinah dan pasukannya memutuskan bergerilya. Dari Tangse, mereka mengarungi rimba raya menuju Pase dan kemudian menuju Gayo Luas. Intelijen-intelijen Belanda semakin suka marah-marah, sebab berbulan-bulan tak berhasil memburu Fakinah. Fakinah dan pasukannya selicin belut sampai Belanda tak mau mengakui telah bertekut lutut.
Sekitar tujuh tahun setelah meninggalnya Kartini, Fakinah keluar dari medan gerilya pada 1911. Berbeda dengan Cut Nyak Dien yang dikhianati, ia meletakkan senjata karena urusan strategi. Panglima Perang yang telah udzur seyogianya “turun gunung”. Fakinah kembali ke Lam Krak dan membangun Dayah Lam Diran.
Dengan anugerah usianya yang panjang, Fakinah merasakan denyut pergerakan nasional awal abad ke-20. Penulis belum mendapatkan keterangan apakah ia sempat bertegur sapa dengan ulama-ulama dari Minangkabau. Ketika usianya sekitar 59 tahun pada 1915, ia bersama sang suami menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Mekah. Dalam usia 62 tahun, ia kembali ke Aceh sebagai janda dan mereformasi dayahnya.
Di tengah masyarakat, Fakinah adalah pemimpin yang disegani. Ia bersama rakyat setempat membangun sawah, ladang, pasar, dan jalan yang rusak akibat perang. Gotong royong ini termasuk membangun jalan yang relatif panjang dan diberi nama Ateung Seunabat. Kini jalan ini dinamakan Ateung Teungku Faki alias Jalan Teungku Fakinah. Catatan menyebutkan bahwa Fakinah pada 1925 pergi lagi ke Tanah Suci selama setahun.
Menurut penulis, kendati setiap tokoh perempuan Aceh memiliki sejarahnya sendiri, jejak Fakinah terlalu memikat untuk dilupakan. Tampaknya ia lebih dihargai di negeri Serambi Mekah. Kalau kita jalan-jalan di Aceh, masyarakat tak asing dengan rumah sakit Teungku Fakinah. Di Banda Aceh berdiri juga Akademi Keperawatan Teungku Fakinah. Selain sebagai panglima perang, ia memiliki rekam jejak dalam dunia pendidikan.
Mata sejarawan tampaknya rabun dengan “kecantikan” Fakinah. Bagaimana mungkin Fakinah yang gesit melawan Belanda di medan perang ditaklukkan Kartini yang suka bercakap-cakap via surat dengan orang-orang Belanda di dalam kamar? Bagaimana mungkin Fakinah yang lincah memainkan pedang demi kemerdekaan kalah dengan pena Kartini yang bermain-main dengan perasaan ketertindasan? Kalau urusan pendidikan, Fakinah sejak muda telah mendidik perempuan-perempuan tanpa sepeser pun “belas kasihan” Belanda! Serabunnya sejarawan, lebih rabun lagi kaum pemuja feminisme Barat.
Dalam buku Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh yang disusun Tim IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (2004), Nurjannah Ismail menerangkan bahwa sistem pendidikan yang dikelola Fakinah di Lam Diran terbilang maju di zamannya. Tak hanya kaum perempuan yang belajar, tetapi juga kaum laki-laki. Buah didikan Fakinah yang relatif juga terkenal antara lain Teungku Fathimah Batee Linteung, Teungku Sa’idah Lamjane, Teungku Fathimah Ulee Tutue, dan Teungku Hawa Lamdilip.
Masih perlu penelitian lebih lanjut hubungan Teungku Fakinah dan Rahmah El-Yunusiyyah (1900-1969) yang juga mengembangkan pendidikan perempuan di Minangkabau. Mungkin saja mereka pernah berpeluk mesra dan saling bekerja sama.
Fakinah meninggal dunia sebelum penanggalan diganti dengan kalender Jepang. Tepat 1938 Masehi, napas Teungku Fakinah berhembus pelan dan akhirnya tak bernapas sama sekali. Coba hitung saja berapa usianya. Hari Fakinah lebih layak dirayakan di negeri ini. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro).