Teungku Fakinah dalam Sunyi Sejarah
June 11, 2021Surat Kanda untuk Soedirman
June 24, 2021Dari Surau Perlawanan Itu Dimulai
Pengetahuan adalah pembebas. Dan, Islam telah menghadirkan tradisi dan metodologi pembebas ini. Islam mengajarkan agar setiap umatnya cakap, berpengetahuan, berahlak, beradab dan berani. Amar ma’ruf nahi munkar.
Islam melarang perbuatan zalim. Dan, jika hadir di tengah-tengahnya maka kezaliman mesti dilawan, sekalipun dalam fakir perbuatan: melawan dengan doa dan munajat.
Islam dalam peradabannya di Nusantara telah melahirkan dan mewarnai berbagai bentuk perlawanan terhadap kezaliman, kolonialisme Barat. Melalui pengetahuan, Islam hadir menjadi penggugah kesadaran sekaligus penggerak perlawanan.
Bangsa-bangsa Eropa melakukan penjelajahan samudera sejak abad ke-15. Misi penjelajahan ini dipelopori oleh Spanyol dan Portugis, dua kekuasaan yang paling berpengaruh di Eropa saat itu. Di dalam penjelajahan ini, mereka membawa misi gold, glory dan gospel (3G) yang berakibat pada praktik kolonialisme terhadap daerah-daerah yang mereka sambangi.
Misi 3G merupakan dampak diadakannya Perjanjian Tordesilas (7 Juni 1494) yang merupakan perjanjian antara dua kerajaan Katolik di Eropa yang paling berpengaruh, Portugis dan Spanyol. Perjanjian ini merupakan gagasan Paus Alexander VI dari Vatikan sebagai solusi atas persaingan dua kerajaan Katolik itu.
Singkatnya, di Nusantara misi pemberadaban hadir dalam wajah kolonialisme. Selain Spanyol dan Portugis, kekuatan Eropa lainnya yang kemudian menjadi dominan adalah Belanda dan Inggris. Mereka berebut pengaruh dan penguasaan sumber-sumber ekonomi dan jalur perniagaan. Perlahan namun pasti, kolonialisme menancapkan cengekeramannya di atas tanah yang sangat menjanjikan ini.
Sementara, peradaban Islam telah mewarnai kekuasaan-kekuasan di sepanjang kepulauan Nusantara. Di sini, perebutan pengaruh dan dominasi mulai terjadi. Dengan cara-cara culas nan khas, kolonial berhasil menguasai satu persatu kekuasaan-kekuasaan di Nusantara. Kolonial, dengan berbagai cara semakin kuat mencengkeram, di dalamnya termasuk misi pemberadaban dalam gospel (misionari).
Apa yang dilakukan bangsa-bangsa kolonial ini akhirnya menimbulkan resistensi. Mereka seringkali harus berhadapan dengan rakyat, sekalipun para pemimpin atau raja mereka sudah dalam “pelukan” kolonial, perlawanan tetap berjalan. Aceh dan Sumatera Barat bisa dijadikan contoh.
Namun demikian perlawanan tidaklah melulu soal mengayun pedang atau menembakkan bedil. Perlawanan hadir juga dalam wajah yang lain. Pengetahuan, bebas dari kebodohan adalah salah satunya.
Surau, di jazirah Minangkabau hadir sudah sejak kuna. Surau, pada masa Hindu-Budha, berfungsi sebagai pusat informasi, konsultasi, tempat bermalam, dan pusat pendidikan bagi masyarakat. Selain itu surau juga digunakan sebagai tempat berkumpulnya laki-laki yang belum kawin atau yang telah bercerai.
Eksistensinya kemudian berubah seiring dengan masuknya nilai-nilai Islam. Fungsinya berkembang dengan signifikan, utamanya dalam bidang pendidikan. Fungsi sebagai lembaga pendidikan, tempat pengajaran Alquran, praktik ibadah, praktik adat istiadat termasuk dalam penguasaan seni beladiri pencak silat.
Dari surau pula cikal bakal keutuhan dan keutamaan masyarakat Minangkabau beradat dan beragama dijalankan bersamaan. Di surau pula para ulama membangun jaringan guru-murid sehingga tercipta saling silang hubungan keilmuan. Tradisi literasi bertumbuh beriiring.
Sudah sejak abad ke-16, surau sebagai pusat pendidikan agama Islam di Minangkabau terus berjalan dinamis. Murid-murid surau mengaji Alquran dan meresapi materi akidah, ibadah, fikih, dan akhlak. Jiwa zaman yang dipenuhi dengan paham-paham tarikat juga merasuki berbagai surau. Perkembangan surau diwarnai pula oleh para haji sepulangnya dari Mekah.
Keberadaan surau pun membuat kawatir Belanda. Sebab, dari surau akan melahirkan pejuang-pejuang yang siap melawan “kaum kafir”. Selain itu, dari surau-surau ini pula terbangun jaringan yang sangat kuat, bahkan untuk sekedar mengobarkan perlawanan yang membangkrutkan Belanda.
Zaman akan terus bergerak, di dalamnya perubahan lazim menyertai. Dalam perkembangannya, keberadaan surau juga mendapatkan “mitra dialektika” terutama memasuki pertengahan abad ke-19.
@matapadi
Sumber bacaan:
- Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern–Respons terhadap Kolonial Belanda Abad IX/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007
- Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisi dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Kencana, 2017)
- Hendra Sugiantoro, Rahmah Elyunusiyyah Pejuang Merah Putih Bergelar Syekhah, Yogyakarta: Matapadi Pressindo, 2021.