Dari Surau Perlawanan Itu Dimulai
June 23, 2021Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia
July 3, 2021Surat Kanda untuk Soedirman

Presiden Soekarno bersama Panglima Besar Soedirman meninjau Magelang
pada tanggal 27 Agustus 1948. Sumber: Perpustakaan Nasional RI
Soedirman (1912/1916-1950) masih ingin bergerilya. Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi untuk menunjukkan etos Tentara Nasional, Tentara Rakyat, Tentara Revolusi. Suami Alfiah itu tak mengingkari janji. Ketika dilantik sebagai Panglima Besar, ia telah bersumpah akan mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sesakit apa pun, lelaki kelahiran Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, itu tetap bernyali jantan. Belanda yang melancarkan Agresi Militer Kedua sejak pertengahan Desember 1948 akhirnya mengakui bahwa tentara Republik Indonesia tak mudah diremukkan. Segala taktik dan strategi Jenderal Simon Hendrik Spoor (1902-1949) yang dipelajari di Koninklijke Militaire Academie hanya berujung kegagalan.
Namun, di tengah kemenangan militer, jalan politik bersimpang jalan. Perundingan Roem-Roijen (14 April 1949-7 Mei 1949) malah dilangsungkan. Tak salah jika Soedirman menyeru kepada seluruh komandan pada 1 Mei 1949 agar jangan sekali-kali turut memikirkan perundingan yang akibatnya hanya akan merugikan pertahanan dan perjuangan. Bagi Soedirman, perundingan di daerah sejuk Linggarjati dan di atas kapal Renville adalah pengalaman. Berkali-kali berunding, Belanda yang justru mengambil keuntungan.
Di belahan dunia mana pun, peperangan selalu berhenti karena kesepakatan politik para pihak yang berseteru. Seperti yang sudah-sudah, perundingan Roem-Roijen menghendaki gencatan senjata. Soedirman pun mengikuti arus sejarah. Sekitar awal Juli 1949, ia keluar dari medan peperangan. Sejengkel dan sekecewa apa pun dengan jalan politik, Soedirman tetaplah Soedirman. Suami Alfiah itu selalu menepati janji. Ketika dilantik sebagai Panglima Besar, ia telah bersumpah akan tetap setia kepada pemerintah.
Sayangnya, Soedirman terlalu cepat meninggalkan dunia ini. Seperti laju roda sejarah yang sulit diterka, perasaan Soedirman ketika memeluk Sukarno sekembali dari medan gerilya juga tak dimudah diterka. Sejarawan pun hanya menerka-nerka. Soedirman tak memberi kesempatan sejarawan atau wartawan melakukan wawancara. Agar kita semakin banyak menerka-nerka, kita simak surat-surat Sukarno kepada Soedirman.
Catatan sejarah menyebutkan bahwa Soedirman seusai bergerilya dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih pada 10 Juli 1949. Paru-parunya yang hanya berfungsi separuh setelah dioperasi sebelum gerilya membuat fisiknya ringkih. Surat-surat Sukarno di bawah ini dikutip dari lampiran yang disertakan Tjokropanolo dalam buku Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia (1992). Ditulis ulang dengan ejaan terkini.
Pertama, surat tertanggal 17 Juli 1949. Sukarno menulis:
“Saudaraku,
Inilah Profesor Asikin yang saya persilakan datang dari Jakarta untuk memeriksa saudara. Beliau tak dapat datang sebelum hari ini, berhubung dengan pekerjaan beliau di Jakarta.
Saudara mengerti, bahwa saya amatlah mengingini saudara lekas sembuh. Apa saja yang diperlukan, insya Allah akan saya ikhtiarkan untuk melekaskan sembuh saudara. Dan doa saya kepada Tuhan pun senantiasa memohonkan sembuh saudara.
Harap saudara yakin tentang hal itu.
Merdeka!
Saudaramu
Sukarno”
Kedua, surat tertanggal 9 Agustus 1949. Sukarno menulis:
“Saudaraku, Hari Nasional 17 Agustus sudah mendekat. Saya kira saudara tak mempunyai lagi uniform yang bagus. Maka bersama ini saya kirim bahan untuk uniform baru.
Haraplah terima sebagai tanda persaudaraan.
Merdeka!”
Ketiga, surat tertanggal 27 Desember 1949. Sukarno menulis:
“Dinda, jika ditakdirkan Tuhan, saya besok pagi dengan keluarga pindah ke Jakarta. Sebenarnya saya tadinya bermaksud pamitan kepada Dinda secara direct ini hari, tetapi sekunyung-kunyung datanglah hal-hal penting yang harus saya selesaikan sebelum saya meninggalkan Djogja, sehingga terpaksalah saya pamitan dengan Dinda dengan surat ini saja,—dengan hati yang berat.
Dinda, Dinda tahu perasaan Kanda terhadap kepada Dinda. Ibaratnya, hatiku ini adalah sebuah kitab yang terbuka di hadapan adinda. Politik pun Kanda satu buku yang terbuka bagi Dinda. RIS yang kita capai sekarang ini, bukanlah tujuan kita yang terakhir. RIS kita pakai sebagai alat untuk meneruskan usaha dan perjuangan kita. Dalam usaha dan perjuangan yang masih di hadapan kita itu, Kanda masih membutuhkan tenaga dan pikiran Dinda. Karena itu, Kanda mengharap supaya Dinda tetap memberi bantuan itu kepada Kanda.
Banyak kekhilafan Kanda sebagai manusia,—juga terhadap Dinda. Karena itu, pada saat saya akan meninggalkan Djogja ini, saya minta supaya Dinda suka memaafkan segala kekhilafan atau kesalahan Kanda itu. Maafkanlah dengan ikhlas!
Kanda doakan kepada Tuhan, moga Dinda segera sembuh. Dan mohonkanlah juga, supaya Kanda di dalam jabatan baru ini selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan. Manusia tak berkuasa suatu apa, hanya Dia-lah yang menentukan segala-galanya.”
“Sampaikanlah juga salam takzim istriku kepada Zuz Dirman. Istriku pun minta diberi banyak maaf, dan doa ke hadirat Tuhan.
Sekian Saudaraku!
Merdeka!”
Menurut Soepardjo Roestam (1924-1993), surat dari Sukarno yang pertama dan yang kedua dibaca, namun tak dibalas. Untuk surat yang ketiga, Soedirman membalas. Selain mengucapkan selamat jalan, Soedirman juga meminta sebuah tanda kenangan. “Surat tersebut ditulis sudah larut malam, maka baru bisa saya antarkan ke Istana Presiden tanggal 28 Desember pagi. Saya menemui Pak Mangil, minta izin untuk menyerahkan surat Pak Dirman,” terang salah satu ajudan Soedirman itu sebagaimana dikutip Julius Pour dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Sipil-Militer (2009).
Yang dimaksud Pak Mangil adalah Mangil Martowidjojo, salah seorang ajudan Sukarno. Ketika Soepardjo Roestam pagi harinya ke Istana menyampaikan surat, Sukarno yang siap-siap berangkat ke Jakarta membalas. Berikut isi surat yang ditulis 28 Desember 1949 pagi hari:
“Surat Dinda amat mengharukan Kanda, dan rasanya makin beratlah Kanda meninggalkan Djogja, di mana Dinda harus masih beristirahat untuk sementara waktu.
Kanda amat terharu oleh permintaan Dinda akan tanda-mata itu. Memang benar Kanda tempo hari menerima hadiah dari Sultan Kotawaringin, berupa saing ikan duyung. masih Saing itu belum dijadikan pipa. Memang kalau dijadikan pipa, amat indahlah ia, lebih indah daripada gading. Sayangnya saing itu telah terburu Kanda pak dalam peti, dan peti itu telah terburu dikirim dengan kereta api ke Jakarta. Tetapi insya Allah, setiba peti itu di Istana Jakarta, maka akan Kanda perintahkan membuat pipa dari saing itu, dan sesudah jadi, akan Kanda kirimkan kepada Dinda. Moga-moga saja di Jakarta ada tukang pipa yang cakap.
Dinda, sekian sajalah dulu. Sekali lagi permaafkanlah segala kesalahan kami, dan doakan kami dipimpin oleh Tuhan.
Merdeka!”

Surat dari Sukarno kepada Soedirman yang ditulis 28 Desember 1949 pagi hari.
Kalau kita perhatikan, Sukarno dalam surat pertama dan kedua masih menyebut Soedirman dengan saudara. Sebutan Kanda dan Dinda dilakukan saat menulis surat ketiga dan surat terakhir. Dalam surat ketiga dan keempat, Sukarno yang merasa bersalah kepada Soedirman menulis permohonan maaf. Boleh jadi Soedirman tersenyum-senyum juga membaca surat Sukarno yang ketiga.
Lantas, seperti apa isi surat balasan Soedirman? Yang jelas, surat itu dibawa Sukarno. Sebulan setelah surat Sukarno yang terakhir, Soedirman tutup usia pada 29 Januari 1950. Saat itu Sukarno dan Fatmawati sedang berada di India. Akhirnya kita hanya bisa menerka-nerka. Sejarawan pun lupa menanyakan kepada Sukarno soal isi surat Soedirman dan pipa dari saing ikan duyung. Wallahu a’lam.(Hendra Sugiantoro).