Agresi Militer, Salah Perhitungan Belanda, dan Watak Sri Sultan IX
January 10, 2022Kisah Hatta, Manusia Jam
February 2, 2022Kisah Klasik Istri Mohammad Hatta: Dari Mas Kawin Buku Sampai Mesin Jahit
“Yuke di sebelah kiri saja, di kanan panas kena matahari,” ucap Mohammad Hatta (1902-1980) kepada Yuke ketika menaiki mobil. Yuke adalah panggilan Rahmi Rachim, istri Hatta. Matahari di sebelah kanan mobil, sang istri dipersilakan duduk di sebelah kiri. Setiap kali bepergian, Hatta tak ingin istrinya terterpa mentari.
Kebiasaan Hatta itu diceritakan putri sulung Hatta dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980: 48-49). “Tidak peduli apakah perjalanan itu hanya sebentar saja di dalam kota, atau apakah perjalanan itu dilakukan ke luar kota, beliau akan tetap memilih duduk di sisi yang disinari matahari, supaya Ibu terlindung dari panas. Saya menganggap ini sebagai salah satu ungkapan perhatian dari Ayah kepada Ibu, yang dilakukan menurut cara beliau sendiri,” tulis Meutia Farida Hatta.
Rahmi Rachim atau Siti Rahmiati lahir 16 Februari 1926. Ayahnya, Abdul Rachim, berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Siti Satiah Ani binti Tengku Muhammad Nurdin, ibunya, berasal dari Aceh. Kebiasaan dalam keluarga Jawa, kakak perempuan dipanggil Yu. Kependekan dari mbakyu. Zaman Belanda, perempuan kerap ada tambahan “ke” atau “ce”. Rahmi, anak tertua dari dua bersaudara, akhirnya akrab dengan panggilan Yuke.
Hatta dan Yuke sebagai pasangan suami-istri memang berbeda usia teramat jauh. Namun sumpah keramat Hatta tak menikah sebelum Indonesia merdeka menggariskan takdir menikahi seorang perempuan sejarak lebih dari 26 tahun. Mereka menikah pada 18 November 1945 di Megamendung. Saat itu Hatta memberikan mas kawin berupa buku Alam Pikiran Yunani yang ditulis di Banda Neira. Ibunya ingin menambah perhiasan emas, namun Hatta menolak. “Suatu pemikiran revolusioner di zaman itu. Herannya, Ibu juga senang menerima mas kawin yang tidak lazim itu, setelah diberitahu isinya menjelang pernikahan,” tutur Meutia dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015: 227).
Cerita paling populer soal pertautan dua sejoli jauh usia itu karena perantaraan Sukarno (1901-1970). Presiden Indonesia pertama itu memiliki kedekatan dengan keluarga Yuke yang menetap di Jawa Barat, tepatnya di Burgemeester Coopsweg 11, Bandung. Buku Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno (Matapadi Pressindo, 2021: 122) menerangkan bahwa Yuke mengenal Sukarno sejak masih usia 5 tahun. Sukarno disapa Yuke dengan sebutan Om. Saat tumbuh sebagai gadis, Yuke tentu tak menyangka bisa mendapatkan suami seorang Wakil Presiden. Malam hari itu, Sukarno datang ke rumah. Kita simak uraian dalam buku Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno (2021: 122-123)
“Begini. Saya mau melamar,” ucap Sukarno menguatkan diri di hadapan Siti Satiah Ani.
“Melamar siapa?”
Malam itu denting piano terdengar. Sukarno yang berbaju setelan putih ditemani dr. Soeharto, dokter pribadinya.
“Melamar Rahmi,” ucap Sukarno lirih.
“Untuk siapa?”
Ibunda Yuke menunggu jawaban.
“Untuk teman saya, Hatta,” Sukarno tenang menjawab.
Yuke saat itu berusia 19 tahun. Lahir dan dibesarkan di Bandung, ia memiliki adik Raharty (1929-1999).
“Jangan mau, Yu, sudah tua,” ceplos Raharty. Pilihan di tangan Yuke. Setelah diyakinkan Sukarno, Yuke bersedia.
Kendati malam itu penuh kejutan, Yuke tak terlalu asing dengan Hatta. Tatap muka mereka pertama kali terjadi pada pertengahan 1943. Yuke yang berusia 17 tahun bersama orangtuanya bertandang ke rumah Mr. Sartono. Bertempat di Jatinegara, Jakarta, diselenggarakan acara ramah tamah penyambutan Sukarno dari pembuangan dengan mengundang berbagai pihak.
Dalam catatan Daradjadi dalam buku Mr. Sartono: Pejuang Demokrasi&Bapak Parlemen Indonesia (2014: 108-109), acara itu juga syukuran atas kepulangan Hatta dari pengasingan. Saat itu Hatta berkenalan dengan Yuke. Seusai acara, Sukarno, Hatta, dan Sartono masih berbincang-bincang. Tiba-tiba Hatta bertanya ke Sartono mengenai gadis bernama Rahmi alias Yuke. Sejak saat itu, Hatta kerap ditanya tentang keseriusan mempersunting Yuke. Dalam kamus Hatta, pernikahan tetaplah angin lalu.
Soal pertemuan di rumah Mr. Sartono dikuatkan catatan ibunda Yuke dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980: 25). “Bung Karno waktu itu masih didampingi oleh Ibu Inggit sebagai istrinya. Kami suami-istri juga hadir, dengan membawa kedua anak kami, Rahmi, 17 tahun dan Raharty, 14 tahun. Ramah-tamah berjalan dengan gembira dan santai. Bung Hatta pun ada di situ,” tulis ibunda Yuke.
Dalam menapaki rumah tangga selama hampir 35 tahun tentu banyak kisah dilalui Yuke sebagai istri Wakil Presiden. Usia semuda itu, Yuke mampu mendampingi Hatta sepenuhnya dalam suka maupun duka. Yuke memang dituntut belajar secara cepat dan tepat, karena ia adalah istri seorang petinggi negeri ini. Lingkaran pergaulannya juga meluas merambah negara-negara lain.
Yang unik dari istri Hatta ini adalah belum ada sejarawan yang membiografikannya secara utuh dan komprehensif. Berbeda dengan Sukarno yang berjejeran biografi istri-istrinya. Dalam perputaran masa yang panjang, sepanjang itulah kenangan Yuke terhadap Hatta.
Hatta yang dikenal sebagai pribadi penuh disiplin dan teguh pada prinsip menerapkan pula dalam lingkungan keluarga. Dalam tulisan ini ada baiknya kita membaca kembali apa yang dituliskan Yuke dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980: 41-45).
Saat gejolak Agresi Militer Belanda II, pimpinan negara yang sedang berada di Yogyakarta harus mengalami pengasingan. Saat diasingkan ke Bangka, Hatta sempat mengirim surat ke Yuke tertanggal 11 Januari 1949. Menurut Yuke, isi surat yang ditulis dengan pensil itu terlihat jelas keyakinan Hatta bahwa jalan sejarah akan berpihak pada Indonesia. Indonesia akan memperoleh kedaulatannya.
Sepenggal isi surat dibentangkan Yuke. Berikut isinya, “…Kak Hatta merasa lega menerima surat Yoeke dan dari semulanya juga sudah yakin Yoeke akan sabar dan tahan uji. Tawakal kepada Tuhan Yang Mahakuasa, itulah kekuatan kita. Mudah-mudahan Meutia telah tenang kembali. Keadaan lingkungan besar pengaruhnya kepada anak kecil, sebab itu usahakanlah supaya di sekitarnya tetap ada cahaya gembira, yang juga akan menyinari jiwanya…” Isi surat itu ditutup dengan untaian, “Tetap sabar dan gembira, karena jalan sejarah menuju kepada cita-cita kita semua.”
Yuke juga bercerita soal peringatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1974. Saat itu Hatta telah lanjut usia dan kesehatannya menurun. “Ah, buat apa datang ke sana, Ayah? Ayah toh sekarang harus menjaga kesehatan, dan Ayah toh tidak akan dipedulikan orang juga…sekarang ‘kan banyak orang lupa kepada Bung Hatta?”
Setiap 5 Oktober, sejak beberapa tahun, Hatta memang selalu diundang. Dalam peringatan pada 1974 itu, Hatta memberitahu Yuke akan datang pukul 06.30. Upacara peringatan berlangsung pukul 07.00 di Lapangan Parkir Senayan.
Komentar Yuke tidaklah salah mengingat kondisi fisik Hatta. “Yuke tidak perlu bilang begitu. Juga saya ‘kan yang dulu membangun Tentara Nasional kita? Karena itu saya mau pergi. Biar saja orang lupa kepada saya, bagi Kak Hatta itu tidak penting. Cukup hati saya saja yang tahu bahwa sayalah yang dulu juga mendirikan Angkatan Perang Republik Indonesia.”
Sikap teguh Hatta memang pantang ditawar. Prinsipnya lebih kuat dari karang di tengah lautan. Saat Singapura menjatuhkan hukuman mati terhadap dua marinir Indonesia, Hatta tak sudi menginjakkan kaki ke sana. Yuke tak menyebut tahun peristiwa ini. “Bagi beliau, ini soal prinsip. Hukuman mati dengan cara digantung baginya merupakan penghinaan terhadap negaranya, karena Presiden Soeharto pun pernah memintakan pengampunan bagi kedua marinir itu, tetapi tetap ditolak oleh pemerintah Singapura,” tutur Yuke.
Dalam peristiwa sejarah negeri ini, kita ingat pernah terjadi pemotongan Oeang Republik Indonesia (ORI) sekitar 1950-an. Saat itu perekonomian Indonesia sedang terpuruk drastis dan kebijakan itu perlu diambil. Padahal, Yuke menginginkan mesin jahit dan sudah menabung.
Yuke jelas-jelas menggerutu, karena uang tabungan yang sudah susah payah ditabung tidak ada artinya lagi. Impian untuk segera memiliki mesin jahit pun raib. “Aduh, Ayah…! Mengapa tidak bilang terlebih dahulu, bahwa akan diadakan pemotongan uang? Yaaa, uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi.” Dengan bijak, Hatta menjawab, “Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik! Kepentingan negara tidak ada sangkut-pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sungguh pun saya bisa percaya kepadamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapa pun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara. Kita mencoba menabung lagi, ya?”
Yuke yang mendapat mas kawin buku saat pernikahan telah setia membersamai Hatta. Ia yang meninggal dunia pada 13 April 1999 tak mampu membeli mesin jahit saat peristiwa “Gunting Syafruddin”. Kini, tugas sejarawan, siapa pun yang terpanggil, untuk “menjahit” kisah hidupnya dalam sebuah buku biografi. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro).