Kisah Klasik Istri Mohammad Hatta: Dari Mas Kawin Buku Sampai Mesin Jahit
January 26, 2022Kisah Cucu Pertama Hatta
March 2, 2022Kisah Hatta, Manusia Jam
Di antara tokoh bangsa yang terkenal sangat berdisiplin soal waktu adalah Mohammad Hatta (1902-1980). Setiap orang yang pernah bersua dan menjalin relasi dengan suami istri Rahmi Rachim (1926-1999) ini akan menyaksikan konsistensi Hatta mengatur waktu. Bahkan, sebagaimana dikatakan Mochtar Lubis, di antara para wartawan ada lelucon yang menyebut Hatta sebagai “manusia jam”.
Kisah Hatta soal waktu berentet panjang. Saat revolusi fisik antara 1948-1949, Hatta selaku Wakil Presiden juga bertindak sebagai Perdana Menteri. Saat itu aktivitas pemerintahan telah dipindahkan di Yogyakarta. Sesuai instruksi Hatta, Sidang Kabinet selalu dilaksanakan malam hari dan dimulai pukul 20.00. Menteri-menteri telah memahami konsistensi Hatta soal waktu dan tak berani datang terlambat. Roeslan Abdulgani yang bertindak sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan juga turut menghadiri setiap Sidang Kabinet.
Dituturkan Roeslan Abdulgani, para menteri ada yang datang dengan mobil-mobil kecil, andong, sepeda, bahkan ada yang berjalan kaki. Sebelum pukul 20.00, semua menteri sudah berada di Gedung Negara. “Biasanya kurang lebih 3 menit sebelum pukul 20.00, kita mendengar derunya mobil Bung Hatta dengan para motor pengawal masuk ke halaman Gedung Negara. Terompet penjaga kehormatan di depan Gedung Negara berbunyi 2 menit sebelum pukul 20.00. Dan persis satu menit kemudian Bung Hatta memasuki ruang sidang. Secara kelakar, tapi sambil berbisik-bisik, beberapa menteri mencocokkan arloji tangannya pada saat Bung Hatta mengetok meja dengan palu pimpinan sebagai tanda Sidang Kabinet dibuka. Dan saat itu adalah persis pukul 20.00!” terang Roeslan Abdulgani dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980: 450-451).
Kedisiplinan waktu telah menjadi watak dan teladan dari Hatta. Rosihan Anwar menyebut Hatta hampir-hampir legendaris terkait tertibnya memegang waktu atau punktualitas. Beberapa hari setelah menikah dengan Ida Sanawi pada 25 April 1947, Rosihan Anwar yang telah mengadakan janji pertemuan menyambangi kediaman Hatta. “Jij komt laat (Engkau terlambat datang),” ucap Hatta. “Padahal,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980: 577), “hanya beberapa menit saya terlambat. Saya hanya tersenyum nyengir. Mau bilang apa lagi? Setelah mengucapkan hal itu tadi, barulah menyusul kalimatnya yang kedua: ‘Selamat ya atas perkawinanmu’.”
Manajemen waktu yang rapi sepertinya terbentuk sejak Hatta masih belia. Kisah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 pun menunjukkan kepercayaan Sukarno terhadap tepat waktunya Hatta.
Dalam buku Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno (Matapadi Pressindo, 2021: 119-120) diceritakan saat waktu kian mendekat pukul 10.00. Banyak pihak mendesak Sukarno segera memproklamasikan kemerdekaan. “Aku tidak mau membacakan Proklamasi tanpa Hatta,” ucap suami Fatmawati itu.
Ketegangan berbagai pihak bila Proklamasi lambat dilaksanakan tak terhindarkan, sebab Jepang bisa saja melakukan hambatan. Dalam memoarnya yang dikutip dalam buku Dari Krakatau Sampai Akhir Hidup Sukarno (2021: 120), Hatta menulis, “Kira-kira pukul 10.00 kurang 10 menit aku berangkat dari rumah dan lima menit sebelum pukul 10.00 aku sudah berada di sana. Orang tahu bahwa aku selalu tepat dengan waktu. Sebab itu, tidak ada orang yang gelisah bahwa aku akan terlambat datang. Sukarno pun tidak khawatir karena ia tahu kebiasaanku.”
Kedisiplinan Hatta soal waktu dan rapinya jadwal kerja tentu disaksikan secara langsung oleh anak-anaknya sejak bangun pagi sampai tidur malam. Gemala Rabi’ah Hatta, putri kedua Hatta kelahiran 2 Maret 1952, sempat bertanya kepada salah satu kakak kandung Hatta, “Bagaimana caranya Mak Gaek dulu mendidik Ayah sehingga mempunyai kedisiplinan sekeras itu terhadap dirinya sendiri?” Mak Tuo R. Lembaq Tuah mengatakan, “Semuanya berpangkal pada kemauan Ayah sendiri untuk hidup secara tertib.”(Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan, 1980: 75-77).
Marthias d. Pandoe dalam brosur berjudul Kepingan Kehidupan Pribadi Dr. Mohammad Hatta (diterbitkan Kanwil Dept. P dan K Prop. Sumbar untuk lingkungan sendiri bekerja sama dengan Pemda Propinsi Sumatera Barat, 1976: 4-5) menerangkan prinsip-prinsip Hatta sejak masa kanak-kanak yang ekonomis terkait pakaian, sabun mandi, dan uang jajan. “Yang mutlak bagi Hatta waktu itu, cuma 3 macam barang. Pertama, sepeda agar dia dapat mengunjungi kawan-kawannya untuk menghafal dan berdiskusi. Kedua, lemari untuk menyimpan buku. Ketiga, arloji tangan. Ia sangat disiplin dengan waktu dan rupanya sampai sekarang ini,” tulis Marthias d. Pandoe.
Penuturan Idang Wangsa Widjaja, sekretaris kepercayaan Hatta, dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980: 160-161) menarik untuk disimak:
“Bung Hatta sangat menghargai waktu. Kalau beliau mendapat undangan perkawinan atau undangan pertemuan lain, beliau datang tepat pada waktunya atau beberapa menit sebelum waktu yang ditetapkan. Pendeknya tidak pernah terlambat dalam undangan. Demikian pula kepada orang lain, Bung Hatta meminta menghargai waktu. Karena sifat Bung Hatta mengenai waktu telah diketahui umum, jarang sekali ada tamu yang terlambat datang, malah sering terjadi tamunya datang beberapa menit sebelum waktu yang ditetapkan. Pernah terjadi seorang duta besar dari salah satu negara Eropa ditetapkan akan diterima pukul 10.00. Tetapi ia baru datang pukul 10.30, jadi terlambat setengah jam. Bung Hatta menolak untuk menerimanya dan duta besar itu terpaksa kembali dengan perasaan risau. Ternyata kejadian ini disebabkan oleh kesalahan sekretarisnya. Beberapa waktu kemudian duta besar itu datang kembali dan kini datang seperempat jam lebih cepat dari waktu yang ditetapkan.”
Banyak kisah lainnya soal kedisiplinan Hatta terhadap waktu. Kita dapat membaca berbagai pengalaman orang yang pernah berinteraksi dengan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama itu dalam beragam buku. Soal waktu, Hatta telah menjadi teladan dan sekaligus bakal melegenda. Wallahu a’lam. (Hendra Sugiantoro).