Kisah Cucu Pertama Hatta
March 2, 202219 MEI 1998 DALAM INGATAN
May 19, 2022Rahmah El-Yunusiyyah, Ibu Pendidikan Indonesia
Ketika Kartini meninggal dunia, usianya belum genap 4 tahun. Belum 4 tahun pula ketika Dewi Sartika membuka Sekolah Kaoetamaan Isteri atau Sakola Istri.
Usianya menjelang 11 tahun ketika Teungku Fakinah di Aceh diminta keluar dari medan perang melawan Belanda karena usia yang udzur. Ketika Keradjinan Amai Setia didirikan Rohana Kudus bersama beberapa sahabatnya di Koto Gadang, usianya belum 11 tahun.
Ia menikmati bangku Diniyyah School saat usia menjelang 15 tahun. Di Bukittinggi, tak ada setahun berselang, Rohana Kudus mendirikan Rohana School. Di seberang pulau, saat usianya hampir 17 tahun, Walanda Maramis mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya alias PIKAT.
Sekitar dua bulan sebelum berusia 23 tahun, ia mendirikan lembaga pendidikan di Padang Panjang, Sumatera Barat. Rahmah El-Yunusiyyah (1900-1969) dan empat nama yang disebutkan di atas berpikir dan berkiprah dalam pendidikan kaum perempuan ketika dunia menginjak abad ke-20.
Tak sekadar ide dan pemikiran, Rahmah El-Yunusiyyah melajukan perguruannya dengan gaya kepemimpinan transformatif. Bahkan, sebelum Perguruan Diniyyah Puteri berdiri, konsep pendidikan modern telah bersemayam dalam benaknya.
Tak semata keilmuan para ulama, Rahmah El-Yunusiyyah juga menggali teori pendidikan dari pemikir Barat. Ada tiga tokoh aliran developmental yang berpengaruh: Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827), Friederich Wilhelm August Fröbel (1782-1852), dan Maria Montessori (1870-1952). Pendidikan yang diusung Rahmah El-Yunusiyyah tak semata “sekolah bekerja” yang saat itu juga sebagai aliran pendidikan tersendiri di Eropa. Rahmah El-Yunusiyyah, sebagaimana Pestalozzi, menghendaki pendidikan kuasa mentransformasi masyarakat. Cita-cita keadilan dan kesejahteraan masyarakat diwujudkan dengan pendidikan yang memadukan aspek pikiran, hati, dan fisik.
Tentu, murid Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul (1879-1945) ini tak taklid buta. Ia melakukan sintesa berbagai aliran pemikiran. Dari pemikirannya tampak aura Imam Al-Ghazali (1058-1111) sampai Pestalozzi dan Montessori. Sebagaimana Pestalozzi yang menekankan pendidikan moral-religius, Rahmah El-Yunusiyyah memiliki konsep moral dari khazanah agamanya.
Rahmah El-Yunusiyyah mendidik perempuan agar cemerlang lahir dan batinnya untuk terjun dalam realitas hidup yang sesungguhnya. Perguruannya hendak menempa perempuan, sebagaimana perkataan Rahmah El-Yunusiyyah, “…menumbuhkan insaf di dalam hati mereka, supaya mereka tetap memenuhi kewajiban hidupnya, yaitu pandai hidup mempergunakan kekuatan sendiri, karena ia percaya akan perkataan PESTALOZZI: ‘Hidup hendaklah selamanya menurut martabat, supaya ia berguna bagi orang yang berkeliling.'”
Yang memikat, jika kita mengacu konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (1889-1959), Rahmah El-Yunusiyyah mengarahkan konsep itu lebih progresif. Dalam pandangan Rahmah El-Yunusiyyah, tiga lingkungan tak semata saling bersinergi mendidik subyek didik. Lebih dari itu, ia memosisikan subyek didik sebagai makhluk aktif untuk mendidik tiga lingkungan. Konsep Rahmah El-Yunusiyyah ini tampak lebih berkesinambungan dalam suatu mata rantai tak terputus.
Dalam konsep besar Rahmah El-Yunusiyyah, perempuan tak semata memiliki keterampilan hidup. Ia memang mengajari murid-muridnya menganyam, menyulam, menjahit, dan menenun. Namun, hal itu hanya bagian kecil dari pendidikan. Lebih dari itu, perempuan harus mampu sebagai “Iboe Pendidik”.
Tentu, proses menempa perempuan sebagai Ibu Pendidik tak instan. Di zamannya masih banyak perempuan “mata kayu”. Dalam proses pendidikan yang diselenggarakannya, perempuan lambat laun dibekali ilmu psikologi dan ilmu pendidikan. Menurut Rahmah El-Yunusiyyah, ilmu-ilmu ini penting sebagai bekal perempuan sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya.
Bahkan, Rahmah El-Yunusiyyah merumuskan konsep pendidikan untuk mencetak perempuan-perempuan sebagai guru. Tanggung jawab yang diemban perempuan tak semata mendidik dalam lingkungan keluarga. Rahmah El-Yunusiyyah memiliki pandangan bahwa anak-anak dari taman kanak-kanak sampai sebagian mata pelajaran di sekolah menengah pertama harus diampu oleh perempuan.
Dibandingkan tokoh perempuan lain, konsep Rahmah El-Yunusiyyah lebih komprehensif. Ia memang berfokus dalam dunia pendidikan perempuan. Ia menyelenggarakan perguruannya dengan kurikulum yang terstruktur. Sebelum zaman pendudukan Jepang, sekitar 1937, ia menambah masa studi 3 tahun—melanjutkan studi 7 tahun—untuk murid-murid perguruan yang diproyeksikan sebagai guru. Rahmah El-Yunusiyyah ingin agar kompetensi murid-murid dalam bidang keguruan benar-benar mumpuni. Bahkan, dua tahun sebelum menghembuskan napas terakhir pada 1969, Rahmah El-Yunusiyyah masih sempat mendirikan sebuah universitas khusus perempuan.
Dalam era Rahmah El-Yunusiyyah, berkaitan dengan keguruan, kompetensi yang terbagi dalam kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi pedagogik belum teristilahkan. Namun, jika diperhatikan secara jernih dan saksama, keempat kompetensi tersebut telah dibicarakan dan dirumuskan Rahmah El-Yunusiyyah.
Rahmah El-Yunusiyyah merupakan perempuan yang melampaui zaman. Bukan sekadar perguruannya yang masih eksis hingga kini dan justru kian berkembang pesat. Lebih dari itu, dari sekian tokoh sejarah yang hanya berhenti pada riwayat hidup dan kenangan masa lampau, Rahmah El-Yunusiyyah adalah tokoh sejarah yang bisa dibawa ke masa depan. Masa depan ini tak sekadar hitungan puluhan tahun, tetapi ratusan tahun ke depan.
Rahmah El-Yunusiyyah adalah perempuan besar Indonesia bereputasi internasional. Ia perempuan pertama, bahkan satu-satunya, yang dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Sepanjang kiprah dan kontribusinya, Rahmah El-Yunusiyyah telah memberikan andil sangat besar bagi pendidikan perempuan. Atas jasa, pemikiran, dan perjuangannya, Indonesia pun memosisikan Rahmah El-Yunusiyyah sebagai IBU PENDIDIKAN INDONESIA.
Pertama, Rahmah El-Yunusiyyah lahir saat awal abad ke-20. Ia adalah tokoh perempuan sekaligus pokok dalam dinamika pembaharuan pendidikan Indonesia.
Kedua, sebagaimana Ki Hajar Dewantara, Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan perguruan atas prakarsa dan inisiatif pribadi, bukan organisasi. Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 1922, Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri pada 1923.
Ketiga, Rahmah El-Yunusiyyah memiliki konsep mendidik perempuan dengan sistem perguruan. Bahkan, model perguruan Rahmah El-Yunusiyyah menjadi prototype pendidikan khusus perempuan terutama di pesantren-pesantren. Azyumardi Azra dalam buku Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (2014: 141) menerangkan bahwa Perguruan Diniyyah Puteri memainkan peran penting dalam pendidikan kaum perempuan, dan menjadi prototype madrasah dan pesantren khusus bagi perempuan yang didirikan pada masa lebih belakangan.
Keempat, dalam mendidik perempuan, Rahmah El-Yunusiyyah menggariskan tujuan salah satunya “Iboe Pendidik”. Ibu Pendidik adalah visi sekaligus konsep besar yang sifatnya aktual jangka panjang. Menurut Rahmah El-Yunusiyyah, perempuan harus sebagai Ibu Pendidik di dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal, dan lingkungan masyarakat. Visi besar Rahmah El-Yunusiyyah juga mengandung makna aktualisasi dan pemberdayaan kaum perempuan. Sebagai Ibu Pendidik, perempuan bisa menghadirkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat dan tanah air.
Kelima, Rahmah El-Yunusiyyah adalah pejuang perempuan yang benar-benar memfokuskan pada pendidikan dalam skala luas. Bahkan, ia berpikir untuk menempa perempuan-perempuan sebagai guru. Sebelum Indonesia merdeka, ia menyempurnakan konsep pendidikan guru yang awalnya hanya tujuh tahun ditambah dengan masa pendidikan tiga tahun (Lihat Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia, Matapadi Pressindo, hlm. 75-76).
6. Murid-murid perempuan yang dididik Rahmah El-Yunusiyyah semasa kepemimpinannya berasal dari Sumatera Barat dan luar Sumatera Barat. Murid-muridnya telah menjangkau wilayah Indonesia, bahkan wilayah yang termasuk Semenanjung Melayu. Rahmah El-Yunusiyyah pun mampu menanamkan visi kepada murid-muridnya untuk turut juga melakukan transformasi sosial lewat jalur pendidikan perempuan. Dalam buku Ensiklopedi Islam Indonesia (2002: 671) diterangkan bahwa para lulusan Perguruan Diniyyah Puteri memiliki spirit dan cita-cita serupa Rahmah El-Yunusiyyah. Mereka mendirikan perguruan di tanah kelahirannya. Dalam buku tersebut disebutkan ada 15 perguruan yang salah satunya di Singapura. Dr. Wilaela, M.Ag., Staf pengajar UIN Sultan Syarif Kasim Riau, dalam buku Pendidikan Perempuan di Riau Era Kemerdekaan (2014: 145-147) memaparkan fakta bahwa Rahmah El-Yunusiyyah dan Perguruan Diniyyah Puteri mempercepat wajib belajar di Riau. Rahmah El-Yunusiyyah dan Perguruan Diniyyah Puteri juga berperan mencerdaskan kaum perempuan Riau sebelum Provinsi Riau terbentuk. Peran utama ini sampai awal Orde Baru.
Ketujuh, konsep dan pemikiran Rahmah El-Yunusiyyah tentang guru tak lekang masa dan tetap relevan sepanjang zaman. Dalam rumusan saat ini, Rahmah El-Yunusiyyah telah menggariskan kompetensi profesional, kepribadian, pedagogik, dan sosial bagi para guru. Kita setidaknya dapat menyimaknya dalam buku Kepada Para Guru: Percikan Pemikiran Rahmah El-Yunusiyyah (BukuLitera, 2022).
Kedelapan, Perguruan Diniyyah Puteri yang didirikan Rahmah El-Yunusiyyah pada 1 November 1923 masih bertahan sampai kini, bahkan kian berkembang pesat. Perguruan yang didirikan muridnya juga ada yang masih menunjukkan eksistensi, yakni di Jambi, Pekanbaru, dan Lampung. Dapat dikatakan bahwa Rahmah El-Yunusiyyah adalah satu-satunya pejuang pendidikan perempuan di Indonesia yang melampaui perempuan lain. Ia berjuang dari titik nol dan menahkodai perguruan sampai akhir hayat. Dari sekian pejuang perempuan hanya Rahmah El-Yunusiyyah yang mengelola lembaga pendidikan seumur hidup, menata kurikulum pendidikan secara terstruktur, mengembangkan perguruan di zaman modern, dan jejaknya masih bertahan.
Kesembilan, Rahmah El-Yunusiyyah adalah ide dan pemikiran. Ia juga tindakan dan langkah nyata. Konsep dan visi besar Rahmah El-Yunusiyyah terkait Ibu Pendidik, pendidikan, pengelolaan lembaga pendidikan, dan guru merupakan buah ranum yang siap dipetik kapan saja, baik oleh generasi masa kini maupun generasi masa mendatang. Dari pemikiran dan tindakan Rahmah El-Yunusiyyah, setiap generasi bangsa ini bisa menggali spirit, motivasi, dan inspirasi untuk kemajuan pendidikan dan profesionalitas guru.
Rahmah El-Yunusiyyah menggariskan bahwa pendidikan mengikhtiarkan supaya anak bangsa menjadi manusia yang hidup lahirnya dan hidup batinnya. Apa yang digariskan Ibu Pendidikan Indonesia merupakan titik pacu dan sekaligus rel bagi dunia pendidikan Indonesia, yang memang sesuai dengan cita-cita bangsa. (Hendra Sugiantoro).