Rahmah El-Yunusiyyah, Ibu Pendidikan Indonesia
April 19, 2022LORENG BRIMOB PELOPOR
May 24, 202219 MEI 1998 DALAM INGATAN
Sejak pukul 8 pagi, ribuan mahasiswa sudah mengalir ke Gedung DPR/MPR. Saat itu, para mahasiswa merasakan situasi tegang yang tak biasa. Sekitar 6.000 mahasiswa dari Front Nasional (aliansi mahasiswa dari tiga perguruan tinggi: Universitas Nasional Jakarta, Universitas Pakuan Bogor dan Universitas Jayabaya Jakarta), merasa menghadapi situasi antara hidup dan mati.
Perasaan itu melingkupi mereka, karena sebelumnya mendapat informasi kalau Gedung DPR/MPR telah dijaga ketat ribuan tentara yang sudah bersiaga dengan persenjataan lengkap. Dalam bayangan mereka; sebelum masuk lokasi Gedung DPR/MPR, mereka harus “bertempur” dulu dengan tentara.
Begitu rombongan Front Nasional mencapai kawasan Taman Ria, situasi ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan para mahasiswa. Memang ada puluhan ranpur (kendaraan tempur) seperti tank dan panser milik Korps Kavaleri Angkatan Darat dan sekira dua kompi prajurit Korps Marinir Angkatan Laut tengah berjaga-jaga. Namun anehnya, mereka membiarkan saja rombongan mahasiswa melaju menuju Gedung DPR/MPR.
“Kok absurd banget ya?”” ujar Faizal Husein, Koordinator KM UNAS.
Tiba di depan pintu gerbang Gedung DPR/MPR, situasi absurd pun berlanjut. Alih-alih dihadang, rombongan mahasiswa malah disambut secara ramah oleh sekira satu kompi pasukan berbaret hijau dari Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat). Salah seorang komandan mereka menyilakan para mahasiswa untuk masuk ke kawasan Gedung DPR/MPR secara tertib. Maka masuklah para mahasiswa Front Nasional secara berbanjar, sementara di kanan dan kiri mereka deretan prajurit Kostrad mengawal secara rapat.
“Kayak mau nonton pertandingan sepakbola aja,” kata Rahmadi.
Apa yang menyebabkan para mahasiswa begitu mudah melenggangkan tangan mereka masuk ke Gedung Rakyat itu?
Bisa jadi secara politis, para mahasiswa memang “diperlukan” untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Menurut pengamat politik Muchtar E. Harahap dan Andris Basril, pendudukan itu memang harus terjadi guna mendesakkan agenda penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR. Dan tentu saja hal tersebut sesuai juga dengan keinginan mahasiswa.
“Ada semacam persepsi di kalangan para pimpinan mahasiswa bahwa tidak ada cara lain untuk melakukan desakan secara konstitusional kecuali melalui para wakil rakyat yang berada di Gedung DPR/MPR,” ungkap Muchtar dan Andris dalam buku Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia.
Karena itu, tidak aneh jika sejak 19 Mei 1998, arus kedatangan mahasiswa terus mengalir ke Gedung DPR/MPR. Mereka tidak hanya datang dari kawasan Jabodetabek dan Jawa Barat tetapi juga dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta bahkan ada yang sengaja datang dari luar pulau Jawa. Ketika menjelang detik-detik pengunduran diri Presiden Soeharto, ada sekira 60.000 mahasiswa yang sudah menduduki Gedung DPR/MPR.
Soal itu sempat membuat aneh sebagian besar pihak. Salah satunya adalah Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan. Bagi eks Komandan Jenderal Kopassus itu, fenomena itu sesungguhnya sangat tidak biasa. Menurut Sintong, dalam situasi kacau seperti yang terjadi sepanjang Mei 1998, seharusnya pihak ABRI tidak membolehkan sama sekali seorang pun masuk ke Gedung DPR/MPR.
“Karena itu saya heran, kenapa Gedung DPR/MPR bisa diduduki secara mudah oleh massa mahasiswa?” ungkapnya.
Dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Sintong sangat meyakini bahwa tidak sulit bagi ABRI saat itu untuk mencegah massa mahasiswa masuk ke Gedung DPR/MPR. Namun nyatanya, mereka tidak melakukan upaya pencegahan tersebut. Padahal saat itu kekuatan ABRI di Jakarta sangat besar dan Presiden Soeharto yakin mereka ada di belakangnya.
“Presiden sudah memercayakan masalah-masalah kemananan dan ketertiban kepada ABRI,” kata Sintong seperti dituturkannya kepada penulis Hendro Subroto.
Bisa jadi melonggarnya penjagaan Gedung DPR/MPR terkait dengan adanya pergumulan para elite di tingkat kekuasaan, termasuk elite militer. Beberapa bulan sebelum kejatuhan Soeharto, Edward Aspinall (pengamat politik dan militer Indonesia asal Australia) berpendapat: sejatinya militer Indonesia tidak lagi ada dalam suatu kesatuan sikap.
“Orang bilang di sekitar Soeharto ada ‘kelompok tentara hijau’ yang lebih cenderung ke Islam dan kelompok ‘tentara merah-putih’ yang lebih nasionalis,” ungkap Edward dalam suatu diskusi di lingkungan mahasiswa UNAS.
Buletin X-Pos edisi 28 Februari – 6 Maret 1998, malah secara gamblang menyebut dua kelompok itu: kubu Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan kubu Jenderal Wiranto. Menurut buletin yang beredar secara gelap menjelang kejatuhan Presiden Soeharto itu, Prabowo sangat kuat di Jakarta sedangkan Wiranto menguasai Markas Besar ABRI.
Sepertinya memang keberhasilan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR tidak terlepas dari berjalannya secara sangkil lobi-lobi politik yang dijalankan oleh para intelektual kampus. Majalah Time, edisi 30 Maret 1998, menyebut nama Hermawan Sulystio dan Daniel Sparingga sebagai penjalin kontak rahasia dari mahasiswa dengan pihak elit militer.
Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengukur sejauh mana para mahasiswa bisa melakukan aksi-aksi mereka. Belakangan pernyataan Time itu dibantah oleh keduanya dalam majalah Gamma edisi 8 Agustus 1999.
Pendudukan Gedung DPR/MPR oleh mahasiswa sendiri hanya berumur empat hari saja. Pada suatu malam di hari ke-22 Mei 1998, para mahasiswa yang masih bertahan karena menganggap reformasi belum selesai, nyatanya dapat diusir secara mudah oleh tentara. (Hendijo)